Yola yang juga Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta ini mengatakan seni tari di Indonesia masih dianggap bagian dari ritual adat saja. Para orangtua pun kebanyakan akan melarang anaknya untuk menjadi seniman tari lantaran pekerjaan tersebut dianggap tidak menjanjikan untuk masa depan.
Baca juga: Peduli seniman dengan "Saweran Online" di Hari Tari sedunia
Baca juga: Tarian Maudy Koesnaedy di pentas "Citraresmi" bisa ditonton pekan ini
Tidak heran jika seniman tari tidak terlalu banyak di Indonesia. Mereka cenderung menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan atau hobi.
"Padahal seniman tari enggak harus nari, konteksnya banyak bisa jadi pengamatnya, direktur artistiknya, tari untuk pembukaan apa itu kan fee-nya lumayan juga sebenarnya. Kita kampanyenya juga dikit ya soal profesi ini," kata Yola saat dihubungi Antara, Rabu.
Yola juga berharap stigma negatif terhadap profesi penari bisa berubah. Jika pekerjaan ini bisa diterima oleh masyarakat, maka pendapatannya pun bisa menjanjikan seperti bidang profesi lain.
"Kadang-kadang kita dianggap negatif karena kita kerja dengan tubuh. Terus lebih diterima masyarakat terhadap profesi ini. Diterima tuh maksudnya terkadang dalam satu acara, tarian cuma ornamen doang. Dari situ ketika profesi ini dianggap, akan ada income yang baik juga, maka akan banyak muncul seniman tari," jelas penerima penghargaan "Pearl" dalam ajang Dance Film Internasional di Berlin, Jerman ini.
"Di Indonesia pekerjaan ini masih disambi, kalau di luar negeri kan i am a dancer atau i am a choreographer. Di sana mereka kerja jam 9-5 di studio gitu. Kalau di kita kan enggak, enggak bisa hidup dari situ, mesti nulis juga, jaga toko dulu," lanjutnya.
Di masa pandemi COVID-19 ini, Yola juga berharap agar para seniman tari tidak menyerah dan alih profesi lantaran tidak ada pemasukan. Ia takut profesi yang sudah sedikit ini akan semakin berkurang.
"Teman-teman seniman tari jangan menyerah, jangan alih profesi. Kita takut setelah COVID-19 ini enggak ada penari lagi. Kita tetap menjaga seniman tetap seniman," kata Yola.
Baca juga: Demi "KKN: Di Desa Penari", Tissa Biani belajar Bahasa Jawa dan menari
Baca juga: Sosok "nekat" Muhammad Khan di mata Rianto sang Penari Lanang
Baca juga: 800 penari Sumut bersaing di Indonesia Menari di Medan
Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2020