Menurut siaran pers dari Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu, yang kerap terdengar dari kejaksaan seringkali lebih pada klaim-klaim keberhasilan.
Namun, Koalisi berpendapat begitu banyak kasus korupsi strategis dengan kerugian negara yang sangat besar justru dihentikan.
Selain itu, koruptor yang telah divonis Mahkamah Agung, yakni Djoko Tjandra, justru kabur dan belum berhasil ditangkap.
Sementara itu, terdapat kasus suap dan dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh sejumlah jaksa.
Berbagai hal itu membuat Koalisi mempertanyakan mengapa Presiden tidak memberikan teguran terhadap Jaksa Agung karena secara ketatanegaraan, lembaga penuntut seperti kejaksaan berada di bawah garis eksekutif.
Koalisi juga mengemukakan, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi ternyata kalah cepat dibanding perkembangan strategi dan modus korupsi itu sendiri.
Sedangkan kekuatan norma dan pengawasan dalam implementasi Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009 seringkali berhenti sampai pada tingkat rencana.
Gabungan LSM tersebut juga mengingatkan bahwa perkawinan antara "kekuatan politik" dan "kekuatan bisnis" pada akhirnya selalu menjadi akar dari korupsi.
Untuk itu, Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi meminta agar setiap capres menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi melalui penyelesaian UU Pengadilan Tipikor dan penguatan KPK serta membuat aturan yang tegas tentang larangan konflik kepentingan.
Selain itu, Koalisi juga mendorong optimalisasi reformasi birokrasi yang terukur untuk menaikkan Indeks Persepsi menjadi lebih baik dan tidak sekadar mendorong kenaikan gaji.
Ke-30 LSM yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi antara lain Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, dan Transparency International Indonesia (TII).(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009