Jakarta (ANTARA News) - Calon presiden Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa terbuka peluang untuk melakukan pengkajian kembali pada Undang-Undang yang tidak selaras dengan semangat kemerdekaan pers.
Hal itu dikemukakan oleh Yudhoyono saat menjawab pertanyaan CEO Tempo Group Bambang Harimurti dalam acara "Capres berbicara Kemerdekaan Pers", di auditorium TVRI, Jakarta, Rabu.
Pertanyaan tersebut merujuk pada kasus Prita Mulyasari yang dipenjara dengan dasar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena menulis surat keluhan atas pelayanan RS Omni Internasional di internet.
"Dimungkinkan untuk mereview (meninjau) UU yang sudah diterbitkan (yang tidak selaras kemerdekaan pers)," katanya.
Hal itu, lanjut dia, karena semangat yang ingin dikembangkan oleh pemerintahannya adalah semangat kehidupan yang tidak represif.
"Semangat kita adalah semangat yang adil, yang tepat dan benar menghargai kemerdekaan pers," katanya.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai komitmennya untuk membuang pasal-pasal yang terkait dengan pencemaran nama baik sebagaimana imbauan yang dikeluarkan oleh PBB, Yudhoyono mengatakan bahwa pemerintahannya memang telah berkomitmen untuk menata sistem perundang-undangan.
"Proses untuk menata ini telah kita lakukan...poin saya, itu semua memang harus diselaraskan," katanya seraya menambahkan bahwa tidak boleh dalam satu negara semangat peraturan atau perundang-undangannya berbeda-beda.
Sementara itu saat ditanya oleh Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mengenai komitmen pemerintahannya untuk tidak mengkriminalkan pers, Yudhoyono mengatakan bahwa pemerintah tepat berpegang pada UU dan hukum untuk menangani hal itu.
"Saya akan meningkatkan dan terus membudayakan untuk tidak tiba-tiba membawa pers ke meja hijau padahal ada mekanisme lain dalam UU Pers," katanya merujuk pada mekanisme hak jawab dan koreksi.
Yudhoyono mencontohkan bagaimana ia melakukan hal serupa ketika ada berita tidak mengenakan yang tidak akurat berkaitan dengan dirinya.
"Saya gunakan hak jawab dan dimuat,...Memang ada KUHP dan lain-lain, tapi marilah kita masuk ke UU Pers daripada tempuh jalan lain yang bisa menimbulkan masalah baru. Banyak orang bisa menjadi korban akibat berita kurang akurat, tapi jangan over reaktif," ujarnya.
Menurut Yudhoyono masih ditemuinya sejumlah kasus hukum yang melibatkan insan pers di masyarakat dapat juga diakibatkan dari mental otoritarian yang belum siap menerima kebebasan pers akibat masih minimnya sosialisasi.
"Mengubah sifat otoritarian butuh waktu dan tidak mudah. Tapi harus kita lakukan agar apa yang dimaksud dengan kriminalisasi pers semakin susut," katanya.
Saat ditanya pandangannya terhadap kasus Upi Asmaradana, mantan wartawan Metro TV yang dikenakan tindak pidana atas tuduhan mengadu secara memfitnah dengan tulisan dan menghina dengan tulisan di muka umum, oleh pelapor yakni Kapolda Sulsel, Irjen Sisno Adiwinoto, Yudhoyono berjanji akan memantau kasus itu karena keluar dari semangat kemerdekaan pers.
Pada acara yang menghadirkan lima orang panelis itu --Leo Batubara, Bambang Harimurti, ketua umum PWI Margiono, Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Retno Intani dan anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi-- Yudhoyono juga menjawab sejumlah pertanyaan yang terkait dengan keperluan peningkatan anggaran LPP, pembentukan sekolah khusus jurnalistik dan status gedung Dewan Pers.
Yudhoyono bahkan menjawab pertanyaan mengenai komitmennya untuk meningkatkan anggaran LPP hingga tiga kali.
Ia mengatakan bahwa hal itu dapat dilakukan sejalan dengan peningkatan anggaran negara dan menampik kemungkinan mengambil pajak dari masyarakat untuk televisi.
"Kalau (membantu meningkatkan anggaran LPP) dengan pajak saya masih harus berpikir apakah perlu mengambil pajak dari masyarakat karena masyarakat kita belum semua pulih dari krisis,...jangan memberatkan," katanya.
Sebelum melakukan dialog tersebut pada Rabu pagi, Presiden Yudhoyono melaksanakan kunjungan ke redaksi harian Kompas dan majalah Tempo. Dalam kesempatan itu Presiden menyampaikan harapannya agar media mengawal demokrasi pada pemilihan umum mendatang.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009