Magelang (ANTARA) - Boleh jadi tidak ada yang sepenuhnya benar, namun juga tak mungkin semuanya salah dalam berbagai usaha menghadapi pandemi global virus corona jenis baru (COVID-19).

Baik kebijakan pemerintah, langkah mandiri masyarakat, maupun berbagai terobosan pihak terkait lainnya, semua sebagai upaya yang semestinya sungguh-sungguh untuk keluar dari pandemi global abad ini.

Seorang warga perumahan di Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang baru pulang dari ibu kota negara sebelum diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena kedaruratan kesehatan masyarakat, pada akhirnya patuh dengan permintaan sejumlah pemuka untuk karantina mandiri bersama keluarganya, setelah sebelumnya diketahui seliweran ke tetangga.

Literasi tentang pentingnya pencegahan penularan virus telah merambat dipahami warga setempat, termasuk bapak muda itu, sehingga legawa menempuh isolasi mandiri.

Aparat pemerintah desa mendatanginya untuk memberikan paket sembako sebagai ungkapan tanggung jawab terhadap warganya, supaya bisa membantu pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Hal itu pun menghadirkan "rerasanan", bergunjing sejenak waktu yang tak lebih sehari-dua hari oleh sejumlah warga lainnya.

Ketika niat baik pengurus rukun tetangga membikin terobosan jaminan pengaman sosial ala lokal, dengan mendorong sukarela warga iuran dana untuk dialih bentuk menjadi paket sembako pun, sempat mencipratkan gerenengan kekecewaan.

Ceritanya, penyaluran sembako kepada mereka terdampak pandemi, antara lain dirumahkan, pemutusan hubungan kerja, dan omzet berjualan anjlok, di perumahan dengan penghuni kalangan menengah ke bawah itu, disusul unggahan foto penyerahan bantuan ke grup percakapan tertutup media sosial warga setempat, juga menjadi persoalan sejenak.

Mau terima bantuannya tapi jangan ketahuan banyak orang kalau pandemi memang menghantam ekonomi sehari-hari penerimanya. Ketua RT pun menyusulkan penjelasan melalui grup percakapan terkait niat tulus program lokal bersama tersebut, sembari tentunya menyampaikan semangat rendah hati komunitas melalui permintaan maaf.

Beberapa hari sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan penerapan PSBB pada 31 Maret 2020, banyak jalan masuk kampung dan desa oleh warga secara mandiri dipasang papan sebagai portal guna menghindari masuknya warga tak dikenal atau pendatang. Alasannya, mengantisipasi penularan makin merebak atas COVID-19.

Berbagai tulisan supaya warga luar kampung tak masuk suatu kawasan bertebaran dengan tanda pagar "lockdown" (karantina wilayah) dan bahkan tak perlu merasa bersalah kalau mereka yang menorehkan tulisan itu tak mengerti banget artinya sehingga keliru menjadi "download" (mengunduh). Malah jadi lucu-lucuan.

Baca juga: Produsen kerajinan: Pasar sepi, banyak pesanan dibatalkan akibat COVID

Sejak awal, pemerintah menghindari penerapan kebijakan nasional terkait penanganan dan pencegahan virus, sebagaimana persis dilakukan negara lain. Meski begitu, tetap disadari pentingnya mengintip dan belajar dari pengalaman mereka. Kebijakan menghadapi COVID-19 di negara lain belum tentu cocok untuk Tanah Air.

"Tetapi kita tidak bisa menirunya begitu saja. Sebab semua negara memiliki ciri khas masing-masing, mempunyai ciri khas masing-masing, baik itu luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, kondisi geografis, karakter dan budaya, perekonomian masyarakatnya, kemampuan fiskal dan lain-lain. Oleh karena itu, kita tidak boleh gegabah dalam merumuskan strategi. Semuanya harus dihitung, semuanya harus dikalkulasi dengan cermat," kata Presiden Jokowi ketika pidato penerapan PSBB di Istana Bogor, Selasa (31/3) sore.

Dalam kaitan dengan pandemi virus corona yang telah mengakibatkan banyak korban terpapar, positif terjangkit, hingga meninggal dunia, ditegaskan Presiden bahwa hal utama menyangkut kesehatan masyarakat.

Oleh karenanya, mereka yang sakit harus diobati, penularan virus makin luas harus dihentikan, dan dampak pandemi yang dihadapi warga segera diatasi seoptimal mungkin, termasuk melalui jaring pengaman sosial yang bahkan telah ejawantahkan warga salah satu perumahan di Secang itu, secara relatif cepat dengan mengandalkan iuran komunitas.

Warga setempat pun segera mengubah portal pintu gerbang kompleks perumahan dari bertuliskan "Stop! Lockdown" menjadi "Pemudik-Pendatang Wajib Lapor!" dengan sejumput penjelasan ringkas atas bahaya COVID-19.

Meskipun demikian, tetap banyak tulisan "lockdown" di berbagai jalan masuk kampung yang oleh warganya dipandang tak perlu dikoreksi, sebagaimana sebutan di banyak negara dalam kebijakan mengatasi virus.

Pemerintah tidak memaksa warga mengoreksi tulisan "lockdown" yang telah mereka pampangkan, terlebih setelah mengeluarkan regulasi PSBB. Ihwal substansial, warga memahami dengan baik, menyadari pentingnya terhindar virus, dan melaksanakan dengan patuh ketentuan penanggulangan virus.

Baca juga: Menteri Sosial minta pengurus RT/RW kawal penyaluran bantuan sosial

Bantuan sosial

Gerakan penyaluran bantuan, baik berwujud sembako untuk kebutuhan sehari-hari warga terdampak COVID-19 maupun berbagai alat pelindung diri bagi tenaga medis yang secara langsung menangani pasien virus corona bermunculan. Begitu juga di mana-mana merebak gerakan membagikan masker dan cairan pembersih tangan, serta pembuatan tempat mencuci tangan dilengkapi penyediaan sabun.

Langkah pemerintah untuk hal itu mendorong gerakan warga dari berbagai kalangan melakukan juga. Musuh bersama dan tujuan bersama bagaikan bertemu menjadi niat baik bersama. Bebas COVID-19.

Kritik, gerundelan, dan blunder tak bisa dielakkan, baik dilakukan pemerintah maupun warga, atau mungkin kalangan lainnya dalam usaha menghadapi virus. Belum lagi tsunami hoaks bertebaran, butuh penyikapan secara cermat, arif, dan bijaksana. Hal-hal semacam itu menimpa siapa saja, pihak mana pun, dan bisa muncul secara sengaja maupun tak sengaja dari siapa pun.

Kecepatan memahami kritik, saran, dan kepentingan mengoreksi suatu keputusan membuat "baper" (bawa perasaan atau tersinggung) tak berumur panjang. Bahkan, di sejumlah grup percakapan medsos muncul kalimat canda alias gojekan yang kira-kira berbunyi, "Dilarang baper selama pandemi".

Salah satu buktinya, ketika sempat berkumandang seruan "social distancing" (pembatasan sosial) lalu muncul sebutan tandingan "physical distancing" dengan berbagai argumentasinya, terkesan "ya sudahlah". Hal terpenting, warga menerapkan jaga jarak.

Begitu juga ketika Presiden dalam suatu wawancara ekslusif dengan "host" salah satu program acara stasiun televisi, mengemukakan perbedaan mudik dan pulang kampung. Hal itu pun terkesan segera lenyap, tak jadi perbincangan panas apalagi nyinyir, meski tetap berjejak di dunia digital.

Cara paham yang berbeda sedang tak laku lama, bahkan terasa sekali tak berkepanjangan sebagaimana jika dibandingkan dengan praktik politik identitas dan dampaknya yang merebak panjang dimulai dari Pilkada DKI Jakarta, beberapa tahun lalu.

Baca juga: Pemerintah Singkawang upayakan Ramadhan tetap semarak semasa wabah

Seorang pengendara sepeda motor mengenakan masker melintas di salah satu jalan utama di Kota Magelang dengan latar belakang mural kampanye menghadapi COVID-19. (ANTARA/Hari Atmoko)

Sasaran serangan pandemi COVID-19 tak pandang bulu, mengganggu kesehatan dan berdampak kepada siapa saja, baik orang kaya maupun miskin, pekerja atau pengusaha, rakyat biasa maupun berpangkat, umat atau pemimpin agama, dan bahkan pasien atau petugas medis.

Dalam kaitan dengan kepentingan penanganan secara medis terhadap mereka yang terpapar dan terjangkit COVID-19, sampai saat ini belum ditemukan antivirus atau obatnya. Empon-empon atau produknya berupa jamu yang diduga menjadi penangkal virus pun sampai sekarang tidak ada penetapan resmi, meskipun di pasaran menjadi tren untuk dikonsumsi.

Hadirnya musim kemarau sebentar lagi ditandai banyak terpaan langsung sinar Matahari ke Bumi dan tubuh manusia, dianggap sebagai berpengaruh terhadap melemahnya virus karena daya tahan tubuh manusia menguat, juga bukan jalan paten mengatasi pandemi.

Meski demikian, Presiden Jokowi dengan merujuk suatu penelitian di Amerika Serikat --yang juga masih diperdebatkan-- mengemukakan bahwa musim kemarau sebagai harapan baik untuk pandemi berlalu.

Namun, hal yang utama, warga menerapkan protokol kesehatan dalam menyikapi COVID-19. Terlebih virus tidak bakal mati. Entah disebut sebagai makhluk hidup atau benda mati, tentu para pakar punya rumusan tentang sifat virus. Akan tetapi, virus disebut hidup, bereplikasi, mutasi, atau menyerang ketika awalnya beroleh inang. Ketika tidak mendapat tempatnya, ia berdiam diri.

Berbagai ragam cara ditempuh untuk mengatasi pandemi, baik terkait dengan substansi medis oleh tenaga medis dalam menangani pasien maupun menyangkut dampak ikutan multisektornya.

Setiap orang dengan komunitasnya, para pemuka warga dengan pengaruhnya, ahli dan akademisi dengan kepakarannya, serta pemerintah dengan perangkat dan jajarannya, bergerak bersama mengatasi pandemi.


Tetirah

Acuan melangkah untuk tetirah berupa protokol kesehatan yang telah dikeluarkan pemerintah untuk segala aspek kehidupan masyarakat.

Usaha memulihkan kesehatan dengan sebutan tetirah, oleh Sitras Anjilin, salah satu penjaga tradisi budaya dan nilai-nilai Jawa melalui komunitas yang dipimpinnya di kawasan Gunung Merapi Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, dipahami sebagai upaya manusia mencari pengobatan kepada ahlinya.

"'Pados tetamba alternatif kanthi srana pitados kalian tiyang ingkang dipun anggep mumpuni ing jejampi dalah ahli sesakit' (Pencarian kesembuhan kepada orang mampu dalam pengobatan)," kata pemimpin Padepokan Tjipto Boedoyo Tutup Ngisor yang dirintis tokoh kejawen, spiritual, dan juga bapaknya, Romo Yoso Sudarmo (1885-1990) pada 1937 itu.

Sedangkan tokoh budaya Sanggar Seni Cahyo Budoyo di kawasan Gunung Sumbing Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang Sarwo Edi Wibowo mengemukakan tetirah sebagai perjalanan orang sakit dengan meninggalkan rumahnya sementara waktu untuk memulihkan kesehatan.

Pemahamannya itu mirip dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, di mana tetirah sebagai pergi ke tempat lain dan tinggal sementara waktu untuk memulihkan kesehatan.

Baik Sitras, Sarwo Edi, maupun KBBI V tidak menyertai penjelasan atas tetirah dengan pelakunya yang hanya satu orang atau jamak. Tetirah sebagai laku atau tindakan mencari kesembuhan, tanpa penjelasan sebagai sakit secara perseorangan atau bersama-sama, sebagai endemi, wabah, atau pandemi.

Oleh karena COVID-19 sebagai pandemi global abad ini, tetirah pun mesti berwujud usaha bareng-bareng dari segala penjuru ruang dengan waktu secara cepat dan fokus, skala perorangan dan komunitas, serta meliputi semua ragam aspek kehidupan.

Tetap dengan menyebut, "insyaallah", pascapandemi kemungkinan kuat tak ada figur satu-satunya sebagai pahlawan, tak ada sebutan satu-satunya pihak korban, bahkan siapa garda terdepan atau benteng terakhir pun menjadi kabur.

Dengan kapasitas, tanggung jawab, dan panggilan hidup masing-masing semua bersama-sama harus hadir menjadi pahlawan sekaligus korban, semua berada di garda terdepan dan sekaligus benteng terakhir mengatasi pandemi.

Boleh jadi, yang ada kelak adalah manusia-manusia berkekuatan rendah hati, karena tetirah menghadapi pandemi COVID-19 disadari menjadi catatan menghadapi tantangan hidup yang harus ditempuh bareng-bareng.

Baca juga: Aftech: Sekitar 23,4 persen fintech alami dampak positif di era COVID

Copyright © ANTARA 2020