Purwokerto (ANTARA) - Larangan mudik yang dikeluarkan bukan suatu pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kata pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho.

"Hukum itu melihat konteksnya, hukum itu tidak lepas dari ruang dan waktu. Sekarang kalau melihat konteks seperti ini, saya kira ya tidak melanggar HAM karena dalam kondisi darurat kesehatan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.

Baca juga: Sosiolog: Pemerintah harus segera atasi krisis akibat larangan mudik

Hibnu mengatakan hal itu terkait dengan adanya anggapan bahwa larangan mudik yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19, merupakan suatu pelanggaran HAM.

Oleh karena saat sekarang sedang dalam kondisi darurat kesehatan, kata dia, pemerintah mempunyai diskresi untuk keselamatan semuanya.

Dalam hal ini, lanjut dia, larangan mudik tersebut merupakan bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah demi keselamatan pemudik maupun masyarakat di daerah yang dituju.

"Ini kan keselamatan di atas segala-galanya, sehingga saya kira enggak melanggar HAM. Aturan tidak lepas dari ruang dan waktu, makanya kondisi seperti ini hukum bisa menjadikan suatu aturan untuk kepentingan bersama," tegasnya.

Baca juga: Sosiolog: Larangan mudik dan tekanan ekonomi bisa picu tindak kriminal

Disinggung mengenai sanksi bagi warga yang nekat mudik khususnya selama Operasi Ketupat 2020, Hibnu mengibaratkan sanksi sebagai pisau bermata dua, sehingga harus dilihat efektivitasnya.

"Sanksi itu betul, tapi pertanyaannya efektif atau tidak. Saya kira tidak efektif, misalkan orang mau ke Solo, sudah sampai Boyolali, diminta balik lagi," katanya menyinggung pernyataan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Pol Istiono yang mengatakan sanksi maksimal bagi warga yang nekat mudik selama pelaksanaan Operasi Ketupat 2020 adalah diputarbalikkan ke rumah masing-masing, sehingga tidak ada sanksi berupa denda.

Menurut dia, banyak alternatif lain yang dilakukan pemudik agar tetap bisa sampai daerah tujuannya pascadiminta putar balik, misalnya dengan meninggalkan mobilnya dan penumpangnya dijemput satu per satu.

Baca juga: Pakar sebut larangan mudik tidak melanggar HAM

Terkait dengan hal itu, dia mengatakan di daerah hulu atau daerah asal pemudik harus betul-betul disekat agar jangan sampai ketika sudah sampai titik terdekat dengan tujuan, diputarbalikkan ke daerah asalnya.

"Jadi, saya kira sanksi berupa diputarbalikkan ke rumah masing-masing itu sudah tidak efisien lagi karena banyak cara untuk bisa mengelabui petugas. Ini juga harus diantisipasi karena efektivitas bukan hanya hukumnya, juga kultur masyarakatnya, masyarakat mendukung atau tidak," katanya.

Menurut dia, kultur masyarakat yang ingin berkumpul bersama keluarga atau teman-temannya saat mudik di kampung membuat mereka melakukan berbagai cara agar bisa lolos dari pemantauan petugas.

Oleh karena itu, kata dia, penyekatan di hulu atau daerah asal pemudik harus benar-benar ketat sehingga tidak sampai kebobolan.

Baca juga: Ahmad Syaikhu minta PSBB diterapkan secara tegas

Baca juga: PUPR harap larangan mudik turunkan lagi trafik jalan tol dan nasional

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020