"Teman-teman di Rawinala tidak punya keahlian medis, seperti yang dipersyaratkan untuk (penanganan) COVID-19," katanya melalui sambungan telepon kepada ANTARA, Jakarta, Selasa, merujuk kepada Sekolah Luar Biasa Ganda Rawinala, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Pernyataan tersebut disampaikan setelah sebelumnya empat anak penyandang disabilitas ganda dari Sekolah Luar Biasa Ganda Rawinala, Kramat Jati, Jakarta Timur, diisolasi secara mandiri di sekolah karena ditolak dirawat di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet.
Ia mencatat penolakan tersebut disebabkan oleh kurangnya pendamping medis yang dapat berkomunikasi dengan para disabilitas tersebut.
Ia menyayangkan kejadian tersebut, dan menganggap penolakan tersebut sebagai ketidaksiapan pemerintah dalam menangani wabah COVID-19, terutama penanganan bagi para penyandang disabilitas.
Untuk itu, ke depan, ia berharap pemerintah dapat menyediakan tenaga kesehatan yang bisa paham atau bisa berkomunikasi dengan para penyandang disabilitas.
"Mungkin butuh pelatihan. Tapi mungkin pelatihannya enggak singkat. Tapi menurut saya teman-teman petugas kesehatan seharusnya belajar juga untuk bisa berkomunikasi dengan teman-teman disabilitas," katanya.
Sebaliknya, penyandang disabilitas yang diisolasi di Sekolah Rawinala juga memerlukan pendampingan, baik dari puskesmas atau Satuan Tugas COVID-19 di tingkat lokal guna mendampingi para pengasuh di Rawinala.
"Jadi sebenarnya dirawat di manapun seharusnya Wisma Atlet menyediakan tenaga medis yang bisa berkomunikasi dengan teman-teman disabilitas ini. Begitupun sebaliknya di sekolah," katanya.
Dengan adanya kejadian tersebut, ia berharap hal itu bisa memicu semua pihak untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.
"Bukan COVID-19 saja, tetapi nanti juga layanan bagi disabilitas dalam masalah kesehatan yang lain," ujarnya.
Pewarta: Katriana
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020