Pandemi paling mematikan bagi perempuan di negara kita, yang lebih mematikan dari virus corona, adalah kekerasan feminisidal
Mexico City (ANTARA) - Hampir 1.000 perempuan terbunuh di Meksiko dalam tiga bulan pertama tahun ini, menurut data pemerintah, yang menunjukkan lonjakan tingkat kekerasan yang dikombinasikan dengan aturan karantina virus corona.
Para pegiat menyebut kombinasi itu telah menempatkan perempuan dalam bahaya ganda.
Angka itu 8% lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu, menurut data.
"Pandemi paling mematikan bagi wanita di negara kita, yang lebih mematikan dari virus corona, adalah kekerasan feminisidal," kata anggota Kongres Martha Tagle dari partai oposisi Partai Gerakan Warga yang merujuk pada kasus pembunuhan perempuan.
"Hari ini, kekerasan adalah ancaman terbesar bagi semua hak asasi perempuan yang telah kita akui dengan upaya besar," katanya kepada Thomson Reuters Foundation.
Sekitar 14.000 kasus COVID-19 yang telah dikonfirmasi telah dilaporkan di Meksiko, dan lebih dari 1.300 kematian terjadi, meskipun tingkat pengujian rendah. Dari kematian akibat virus corona itu, sekitar 420 adalah perempuan, kata pemerintah.
Pemerintah melaporkan bahwa setidaknya 720 perempuan dibunuh pada kuartal pertama tahun ini dan 244 perempuan adalah korban dari pembunuhan femisida yaitu ketika seorang perempuan dibunuh karena jenis kelaminnya.
Setahun yang lalu, setidaknya 890 wanita dibunuh.
Kekerasan berbasis gender tersebar luas di negara Amerika Latin.
Badan statistik nasional (INEGI) mengatakan dua pertiga perempuan di Meksiko telah mengalami beberapa bentuk kekerasan, dengan hampir 44% menderita penganiayaan dari pasangannya.
Tingkat feminisme telah meningkat lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir, dan kekerasan geng telah mendorong tingkat pembunuhan ke rekor tertinggi. Sebagian besar kejahatan kekerasan di Meksiko tidak terpecahkan.
Dengan aturan karantina wilayah akibat virus corona diperpanjang hingga setidaknya akhir Mei, para pegiat khawatir bahwa tingkat kekerasan yang mengkhawatirkan seperti itu bisa menjadi lebih buruk.
Telepon dan pesan yang dikirim ke Jaringan Perlindungan Nasional - jaringan hampir 70 tempat perlindungan bagi perempuan korban kekerasan - meningkat lebih dari 80 persen antara pertengahan Maret dan pertengahan April jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
"Ini mengerikan. Saya pikir lebih banyak perempuan bisa tewas karena aksi kekerasan daripada COVID pada periode ini," kata Patricia Olamendi, seorang pengacara yang mewakili para korban kekerasan dan telah menulis protokol tentang investigasi pembunuhan berbasis gender.
Dia menambahkan bahwa pemerintah belum menerbitkan rencana untuk mengatasi lonjakan aksi kekerasan dalam rumah tangga.
"Ada pengabaian yang lengkap dan absolut," katanya. "Apa yang terjadi di negara ini tidak manusiawi."
Dalam pertemuan pekan lalu mengenai kekerasan terhadap perempuan selama pandemi, Menteri Dalam Negeri Olga Sanchez Cordero mengatakan hotline darurat 911 negara itu adalah kunci untuk memerangi masalah itu.
"Kita harus bergabung dengan upaya untuk menghadapi pandemi kekerasan (terhadap perempuan) yang merupakan pandemi diam, tetapi telah menyebabkan rasa sakit (dan) menelan ribuan jiwa dalam setahun," katanya.
Kementerian Dalam Negeri tidak segera menjawab permintaan komentar.
Protes menentang kekerasan berbasis gender muncul awal tahun ini, dengan jutaan perempuan Meksiko tinggal di rumah dan meninggalkan pekerjaannya selama aksi mogok nasional pada Maret, sehari setelah serangkaian protes di seluruh negeri untuk merayakan Hari Perempuan Internasional.
Meksiko melaporkan tahun terburuk untuk pembunuhan pada 2019, dengan rekor 34.582 korban, menurut data yang diterbitkan pada Januari.
Baca juga: Alami lonjakan harian terbesar COVID-19, Meksiko butuh tenaga medis
Baca juga: Kasus pembunuhan di El Salvador singkap kekerasan terhadap perempuan
Penerjemah: Gusti Nur Cahya Aryani
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020