Surabaya (ANTARA News) - Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, menyatakan, negara Indonesia masih menganut politik hukum yang mengkriminalkan pers.
"Hal itu bisa dilihat dari sikap penguasa yang masih menganggap pers sebagai penjahat," katanya dalam seminar tentang "Apartus Berperspektif Pers" di Surabaya, Sabtu.
Ia menyebutkan, selama orde reformasi berbagai kasus mengenai pers berakhir dengan vonis yang mempersalahkan para pekerja pers.
"Selain pemerintah, DPR juga berperan dalam upaya mengkriminalkan pers, bahkan kecenderungannya semakin meningkat," katanya dalam acara yang digelar LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu.
Salah satu peran DPR untuk mengkriminalkan pers itu, lanjut dia, dapat dilihat dalam pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Dalam pasal itu, wartawan dapat dipenjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar, bila informasi elektroniknya memuat penghinaan dan pencemaran nama baik," katanya.
Selain itu, ada aturan perundang-undangan lainnya yang dapat memenjarakan pekerja pers, di antaranya pasal 5 ayat (1) dan pasal 51 Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, sejumlah ketentuan yang diatur dalam UU 44/2008 tentang Pornografi, pasal 99 ayat (1) f UU 10/2008 tentang Pemilu, dan KUHPidana.
"Sekarang ini legislatif telah mempersiapkan RUU KUHP yang lebih kejam dari KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda," kata Leo.
Ia mengungkapkan, peringkat kemerdekaan pers di Indonesia terus memburuk dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, kemerdekaan pers di Indonesia menempati peringkat ke-57 dunia. Namun pada 2008 melorot hingga peringkat ke-111.
"Hal ini tidak lain karena aparat penegak hukum dalam menyikapi perkara pers lebih memedomani pasal-pasal dalam KUHP," katanya menambahkan.
Ia berpendapat, kriminalisasi pers sangat merugikan bangsa. "Bila temuan pers dituduh menghina dan mencemarkan nama baik pejabat, politikus, dan pengusaha bermasalah, kemudian wartawannya dikriminalkan dan diancam denda, maka fungsi kontrol sosial pers akan tumpul. Akibat ikutannya adalah kekuasan korup semakin merajalela dan rakyat akan terus-menerus menjadi korban," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009