Jakarta (ANTARA) - Penanganan COVID-19 Indonesia saat ini salah satunya fokus pada percepatan deteksi COVID-19 di tengah masyarakat dengan melakukan pelacakan orang terinfeksi, tes skrining dan pemeriksaan spesimen untuk melihat keberadaan virus SARS-Cov02 penyebab COVID-19 pada warga Indonesia.

Untuk mendukung deteksi COVID-19, Pemerintah Indonesia melalui Konsorsium COVID-19 yang dibentuk oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkejaran dengan waktu dengan memaksimalkan seluruh sumber daya untuk menciptakan alat tes diagnostik cepat untuk deteksi COVID-19.

Salah satu perangkat tes itu adalah alat deteksi COVID-19 yang berbasis surface plasmon resonance (SPR), yang disebut dengan Rapid Diagnostic Test (RDT) Micro-Chip. Perangkat ini berfungsi untuk deteksi dini COVID-19.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro mengatakan penyediaan peralatan tes cepat (rapid test kit), baik yang bersifat deteksi awal (early detection) maupun deteksi akhir (late detection), merupakan salah satu skala prioritas Konsorsium COVID-19 untuk jangka menengah.

Selain itu, Konsorsium juga fokus pada pengembangan suplemen, multivitamin, immune modulator dari berbagai tanaman Indonesia serta pengembangan robot layanan smart infusion palm, pengembangan ventilator serta pengembangan lainnya.

Sementara, untuk jangka panjang, Konsorsium akan mengembangkan vaksin COVID-19.

RDT Micro-chip dikembangkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjajaran (Unpad) untuk membantu Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan COVID-19 (TFRIC19), suatu satuan tugas yang diinisiasi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di bawah Konsorsium COVID-19.

Baca juga: Menristek: Produksi awal 200 ventilator portabel pada Mei 2020

Baca juga: Menristek bentuk konsorsium riset teknologi penanganan COVID-19


Kurang dari sejam

Alat tes cepat micro-chip buatan Indonesia yang saat ini sedang dikembangkan itu akan mampu mendeteksi COVID-19 dalam waktu kurang dari satu jam. Alat ini ditujukan untuk melakukan deteksi dini COVID-19 pada masyarakat Indonesia.

RDT Micro-chip bersifat lebih sensitif dan spesifik untuk mendeteksi virus SARS-Cov-2 karena menggunakan strain virus penyebab COVID-19 yang menginfeksi orang asli Indonesia.

"Dengan adanya kemampuan desain melalui teknik komputasi dan produksi bioreseptor bekerjasama dengan Universitas Padjajaran, kami yakin dapat membuat bioreseptor yang memiliki spesifisitas yang tinggi terhadap target virus SARS-CoV-2," kata Peneliti yang juga Dosen Teknik Biomedika ITB Isa Anshori kepada ANTARA, Jakarta, Senin.

Untuk mengantisipasi adanya kebutuhan deteksi dini COVID-19 berbasis antigen yang akan sangat banyak, maka RDT Micro-chip ini dikembangkan.

Kebutuhan deteksi dini ini diperlukan dalam upaya menemukan orang terinfeksi COVID-19 sehingga penyakit ini dapat dikendalikan.

Penyakit COVID-19 ini sangat mudah menyebar. Selain itu, virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 adalah jenis baru dan masih sedikit informasi yang tersedia, sehingga eksplorasi terkait interaksi biomolekuler sintetik terhadap virus ini, baik untuk biosensor, maupun pengembangan obat dan vaksin akan sangat penting.

RDT micro-chip diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam riset terkait COVID-19 secara luas, selain untuk tujuan khusus sebagai perangkat deteksi dini.

Alat tes cepat ini bukan berbasis metode atau teknik reaksi berantai polimerase atau polymerase chain reaction (PCR), melainkan berbasis teknik resonansi plasmon permukaan atau surface plasmon resonance (SPR).

"Kami fokuskan untuk deteksi antigen, yaitu virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 itu sendiri. Sehingga, metode ini dapat digunakan untuk deteksi dini pada periode awal infeksi berlangsung," ujar Isa.

Isa menuturkan metode gold standard deteksi antigen adalah berbasis PCR. Namun, dalam hal ini pihaknya ingin melihat seberapa besar potensi deteksi dini berbasis sensor optik SPR sebagai alternatif untuk deteksi dini COVID-19.

Metode yang diterapkan dalam RDT Micro-chip ini juga berbeda dengan RDT IgG IgM yang juga sedang dikembangkan oleh TFRIC19 di bawah Konsorsium COVID-19.

Pada metode RDT IgG IgM, yang dideteksi adalah antibodi Immunoglobulin G (IgG) dan Immunoglobulin M (IgM) yang terbentuk sebagai respon tubuh penderita terhadap virus.

Adapun antibodi ini baru muncul setelah tujuh hari, sehingga metode tersebut masuk pada kategori deteksi akhir (late detection).

Baca juga: Konsorsium COVID-19 akan kembangkan APD, masker, cairan bersih tangan

Baca juga: Konsorsium COVID-19 akan kembangkan alat deteksi, obat, dan vaksin


Cara kerja RDT Micro-chip

Isa mengatakan timnya saat ini sedang berfokus pada tahap mendesain dan memproduksi bioreseptor yang nantinya akan dimobilisasi pada substrat micro-chip.

Dari segi konseptual, bioreseptor itu memiliki kemampuan untuk "menangkap" secara spesifik analit yang dideteksi, yaitu protein pada permukaan virus SARS-CoV-2.

Ketika analit yang berada pada larutan yang dialirkan ke micro-chip dapat "ditangkap" oleh bioreseptor, perangkat SPR akan menghasilkan respon yang menunjukkan keberadaan virus penyebab COVID-19 pada larutan.

Karena bioreseptor telah didesain secara spesifik agar hanya dapat "menangkap" virus SARS-CoV-2, maka kesalahan pendeteksian dapat dihindari.

Saat ini, ITB dan Unpad sedang menyiapkan bahan bioreseptor berbasis aptamer untuk menangkap virus yang ada di dalam sampel cairan.

Isa mengatakan perangkat SPR Reader dan bahan habis pakai chip SPR untuk saat ini dibeli dari luar negeri. Sedangkan untuk kit bioreseptor khusus yang dipakai pada chip SPR akan diproduksi di Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatika Universitas Padjajaran.

Nilai sensitivitas perangkat RDT Micro-chip akan disampaikan setelah tim memulai uji coba deteksi COVID-19.

Tahap awal pengujian dan optimasi terkait perangkat RDT Micro-chip akan dilakukan di fasilitas biosafety level (BSL) 2, dengan menguji no-risk sample dari virus SARS-CoV-2, seperti bagian RNA-nya atau sampel virus tapi dalam kondisi inaktif.

Setelah itu, tahapan pengujian berikutnya akan diadakan di fasilitas BSL 3, baik yang ada di rumah sakit maupun di laboratorium klinis untuk pengujian pada sampel sesungguhnya (real sample).

Pengujian di fasilitas BSL 2 ditargetkan dimulai pada Juli 2020, dan diharapkan pada awal Agustus 2020 dapat diuji coba di fasilitas BSL 3.

Baca juga: Konsorsium pun disiapkan untuk mengembangkan vaksin COVID-19

Baca juga: Tim pakar di Sumsel teliti COVID-19 dengan teknik genotipe


SPR

SPR merupakan salah satu teknik deteksi biomolekul yang non-destruktif, label free, memiliki reproduksibilitas tinggi, real time, dan relatif murah.

Teknik tersebut telah terbukti dengan baik dapat digunakan dalam investigasi interaksi molekuler dengan indikator perubahan indeks refraksi pada permukaan chip atau dalam hal ini lapisan emas.

SPR merupakan fenomena fisis yang diinduksi ketika cahaya atau foton yang datang beresonansi dengan osilasi elektron bebas pada permukaan logam terhadap inti atom.

SPR terdiri dari laser, gelas prisma, lapisan chip sensor (umumnya dari bahan emas), dan fotodetektor. Cahaya dengan energi tertentu akan menciptakan fenomena plasmon pada permukaan logam.

Fenomena plasmon pada permukaan emas ini dapat dideteksi dengan perubahan sudut atau intensitas cahaya yang direfleksikan oleh lapisan logam.

Pada prinsipnya, plasmon yang terjadi pada permukaan logam akan berinteraksi dengan molekul di atas permukaan dan menyebabkan perubahan indeks refraktif permukaan sehingga terjadi pergeseran sudut refleksi cahaya.

Perubahan sudut ini secara linear berhubungan dengan perubahan indeks refraktif dan berbanding lurus dengan jumlah molekul yang menempel pada permukaan logam.

Ketika diaplikasikan sebagai biosensor, SPR dapat digunakan untuk memonitor interaksi antara analit dengan target virus SARS-CoV-2 dalam larutan dengan bantuan bioreseptor yang sebelumnya telah dimobilisasi pada permukaan chip sensor.*

Baca juga: AS: Sinar matahari, panas dan kelembapan perlemah virus corona

Baca juga: Prancis: Tak ada bukti COVID-19 terkait dengan lab penelitian Wuhan

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020