Revenue perusahaan Garuda Indonesia dari layanan penumpang diperkirakan terpangkas 55 persen sampai akhir tahun 2020
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP Deddy Yevri Sitorus menyoroti kinerja PT Garuda Indonesia yang kini menghadapi tantangan sangat besar di tengah badai COVID-19.
Deddy menjelaskan tantangan berat itu diawali dengan terhentinya layanan penumpang ke delapan daerah Hub Garuda setelah berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang berlanjut dengan berhentinya layanan Garuda pada jemaah umrah dan haji.
“Revenue perusahaan Garuda Indonesia dari layanan penumpang diperkirakan terpangkas 55 persen sampai akhir tahun 2020,” kata Deddy melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Senin.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Kalimantan Utara itu mengungkapkan berdasarkan data yang disampaikan kepada Komisi VI DPR RI, pengeluaran tinggi Garuda Indonesia di antaranya adalah biaya operasional, biaya sewa pesawat, biaya overhead yang tinggi, serta biaya finansial yang tinggi.
“Biaya sewa pesawat itu tinggi jika tidak ada pengurangan jumlah dan nilai kontrak pesawat di masa pandemi COVID-19,” ungkap dia.
Deddy melanjutkan penurunan kondisi ekonomi makro dan mikro semakin memperburuk kondisi Garuda Indonesia meski COVID-19 sudah berlalu. Alasannya adalah beban utang yang jatuh tempo pada 2020, di antaranya adalah Sukuk sebesar 500 juta dolar AS yang jatuh tempo pada Juni 2020.
Ia memperkirakan Garuda Indonesia membutuhkan setidaknya 600 juta dolar AS untuk menopang kelangsungan hidupnya sampai akhir tahun 2020. Angka perhitungan tersebut di luar kebutuhan pembayaran Sukuk pada tahun ini sebesar 500 juta dolar AS.
“Total dibutuhkan 1,1 miliar dolar AS. Major airlines di dunia telah mendapatkan suntikan dana dari pemerintahnya untuk penyelamatan hidup airlines tersebut. Apakah Garuda siap untuk ini,” ujar Deddy.
Pandemi COVID-19 mengguncang industri penerbangan di seluruh dunia. Dalam catatannya, Deddy mengungkapkan ada 117 maskapai dunia yang menghentikan 90 persen penerbangannya, dan 167 perusahaan penerbangan lainnya mengandangkan 40 persen penerbangan yang mengakibatkan jumlah pelancong merosot 87 persen.
Diperkirakan volume penerbangan akan kembali normal 3-5 tahun pasca COVID-19 dan harga akan kembali kuat satu tahun setelah COVID-19.
“Segmen bisnis akan lebih cepat pulih dibanding segmen leisure. Akan ada perubahan demand layanan vs cost pasca COVID-19, di mana airlines harus sanggup bertransformasi diri. Apakah Garuda siap untuk ini,” ungkap Deddy.
Baca juga: Imbas COVID-19, maskapai Garuda potong gaji karyawan
Baca juga: Garuda pastikan tetap layani penerbangan Australia dan Belanda
Baca juga: GMF: Puluhan pesawat Garuda dan Citilink telah disinfeksi cegah Corona
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020