Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, akan memanggil paksa sejumlah mantan pejabat era Orde Baru (Orba) terkait kasus "tukar guling" (ruislaag) kampus Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) -- saat ini Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP).

Mantan pejabat tersebut antara lain Abdul Latief (mantan Menakertrans), Azwar Anas (mantan Menteri Perhubungan), Haryanto Danutirto (mantan Menhub) dan Agum Gumelar (mantan Menhub).

"Mereka akan dipanggil secara paksa pada pekan depan karena sudah dua kali mangkir dari panggilan," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta Hidayatullah di Jakarta, Jumat.

Aspidsus menyatakan mantan pejabat tinggi semasa Orba itu belum menjadi tersangka.

"Namun kita kan sesuai Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), berhak penyidik memanggilnya," katanya.

Disebutkan, Abdul Latief merupakan pihak yang mengajukan permohonan ruislaag saat sebelum menjadi Menakertrans.

"Dalam ruislaag itu, mereka menggunakan proposal PT Pasaraya Toser Jaya, dan nama perusahaannya PT Mandiri Dita Cipta (MDC)," katanya.

Ia menyebutkan proses ruislaag itu berlangsung pada 1992 saat lahan AIP yang berada di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Utara, diganti dengan tanah yang berada di kawasan Marunda, Jakarta Utara.

Menhub semasa itu adalah Haryanto Danutirto, menyatakan setuju dengan memberikan rekomendasi kepada PT MDC sebagai pihak yang mendapatkan ruislaag tersebut.

"Padahal Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan (Menku) Nomor 350 tahun 1994 menyatakan, untuk melakukan ruislaag aset negara, harus dilakukan tender dengan diikuti oleh lima peserta," katanya.

"Kenyataannya tidak dilakukan," katanya.

Disebutkan, tanah bekas gedung AIP di Gunung Sahari yang pada 1995, harganya Rp5 juta/meter persegi, namun dilepas ke PT MDC dengan harga Rp1,250 juta/meter persegi.

"Sedangkan harga tanah di Marunda itu sesuai NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) sebesar Rp40 ribu/meter persegi. Untuk di Gunung Sahari melakukan mark down sedangkan di Marunda mark up," katanya.

Nilai aset di Gunung Sahari itu sebesar Rp126 miliar. "Tentunya lahan pengganti dijual dengan harga yang sama," katanya.

Yang menjadi masalah tanah seluas sepuluh hektar di Marunda. "Tidak bisa dieksekusi Dephub, karena ahli warisnya menyatakan sebagai pemilik yang sah sesuai putusan kasasi perdatanya," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009