Washington (ANTARA News) - Reaksi pemerintah AS terhadap peristiwa yang sedang berlangsung di Iran memicu perdebatan luas di kalangan legislatif, media massa dan pemerintah negeri itu ditengah keprihatian atas sikap Presiden Barack Obama yang tidak cukup memberikan dukungan kepada demonstran di Iran.
Karena meminimalkan perbedaan kebijakan antara sang incumbent Mahmoud Ahmadinejad --yang mengklaim telah memenangkan pemilihan presiden Jumat pekan lalu yang disengketakan-- dengan penantangnya Mir Hossein Mousavi yang para pendukungnya membanjiri jalanan di Iran, beberapa anggota legislatif dari Partai Republik marah dan membuat Gedung Putih serta Demokrat terpojok.
Senator John McCain, mantan rival Obama pada pemilu AS tahun lalu, menggambarkan tanggapan Presiden AS di Iran sebagai "hangat-hangat kuku" dan mengecamnya karena meninggalkan prinsip fundamental AS dalam menanggapi kaadaan genting yang dihadapi rakyat Iran.
Obama menekankan bahwa hak uiversal untuk berdemonstrasi secara damai harus dihormati pemerintah Iran, namun menolak berpihak pada salah satu pihak di Iran.
Dia mengingatkan, sampur tangan AS dalam masalah politik domestik Iran akan kontraproduktif, seraya menjanjikan akan terus berupaya mendekati Iran, sebuah pernyataan yang membuat marah beberapa wakil rakyat AS.
"Sikap diam mereka dalam soal pelanggaran hak asasi manusia (di Iran) sangat mengganggu saya," kata Eric Cantor, orang kuat kedua di kubu Republik dalam DPR AS.
"Amerika memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan hak asasi manusia di seluruh dunia dan mengutuk penindasan yang terjadi di Teheran sekarang," tambahnya.
Senator berpengaruh dari Demokrat John Kerry membalas kecaman Republik itu dalam opininya di New York Times di bawah judul "With Iran, Think Before You Speak" atau "Dalam Soal Iran, Pikir Dulu Sebelum Berbicara."
"Kita semua terinspirasi oleh demonstrasi damai di Iran, peristiwa seperti itu tidak pernah terlihat di sana selama tiga dekade lamanya. Setelah menyaksikan tayangan video bagaimana paramiliter Basij meneror demonstran, kita merasa tergoda untuk menanggapinya secara emosional," tulis Kerry.
"(Namun) Hal penting yang harus kita lakukan adalah memberi Tuan Ahmadinejad sebuah kesempatan untuk membangkitkan memori kudeta tahun 1953 yang disponsori AS yang menggulingkan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dan mengembalikan Shah Mohammed Reza Pahlavi ke kekuasaannya," demikian Kerry.
Kerry mencoba mengingatkan sejawatnya di AS bahwa dukungan terburu-buru AS pada satu kelompok di Iran akan membuat kelompok yang kini berkuasa di Iran mempunyai alasan bahwa ada campur tangan asing di Iran.
Para pakar dan media massa AS sendiri terus terlibat dalam debat panjang dengan tanpa ada konsensus.
Ketika Washington Post menurunkan editorial yang menyebutkan bahwa Gedung Putih pimpinan Obama mencoba berhati-hati mengirimkan sinyal positif kepada demonstrasi di Iran dalam upaya mencegah pemerintah Teheran mendapatkan alasan bahwa para demonstran itu antek Amerika, New York Times justru menulis keras dengan menyatakan kekhawatiran bahwa Obama berasal dari sisi salah sejarah AS .
Steve Clemons, pakar pada New America Foundation yang merupakan satu lembaga riset progresif di Washington, mengatakan Obama telah keliru menangkap perbedaan antara Ahmadinejad dan Mousavi.
"Obama mungkin tidak bermaksud seperti itu namun dia telah menyampaikan penghinaan terhadap proses yang sedang berlaku di Iran, dan yang terpenting bagi Obama dan pihak lainnya di dewan keamanan nasionalnya adalah memahami bahwa pemilu Iran belumlah selesai," tulis Clemons.
Sebaliknya Robin Wright dari Woodrow Wilson Center berkata pada AFP bahwa Obama dengan bijak berusaha menahan diri untuk sementara waktu.
"Mungkin dia harus mengucapkan sesuatu, namun berdasarkan perhitungan kami, begitu kita melontarkan sesuatu yang jelas kita rasakan bahwa kini saatnya untuk menunjukkan Amerika sebagai kekuatan yang menentukan, maka saat itu pula rezim Iran akan menyalahkan kita atas segala (yang tidak dilakukan AS)," kata Wright yang adalah mantan koresponden politik Washington Post.
Sementara Daniel Brumberg dari US Institute of Peace mengatakan, dia melihat perdebatan soal Iran ini sebagai debat mengenai warisan masalah yang ditingalkan pemerintahan Bush.
Pada 2002 Presiden George W. Bush menyebut Iran, Iraq dan Korea Utara sebagai "poros kejahatan," bagian dari kebijakan neokonservatif untuk mempromosikan demokrasi proAmerika dengan cara menekan rezim-rezim itu sampai mereka tumbang.
Dengan masuknya Obama di Gedung Putih, debat soal Iran ini menjadi bertutur soal seberapa besar AS harus berada di garis depan dalam rangka mendorong demokrasi, kata Brumberg, yang adalah pakar Timur Tengah ini
Debat ini telah menekan pemerintahan Obama. New York Times melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Hillary Clinton berharap Obama mengeluarkan dukungan lebih terang kepada para demonstran Iran.
Sementara Wakil Presiden Joe Biden percaya bahwa dukungan terbuka Obama pada Mousavi adalah keliru, ungkap sumber yang mengetahui pasti sikap Wapres Biden dalam soal Iran.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri Philip Crowley sendiri telah menegaskan bahwa baik Obama maupun Clinton memperhatikan dengan saksama Iran.
"Saya kira tidak ada perbedaan antara posisi Presiden dengan posisi Menteri Luar Negeri," kata Crowley. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009