"Management Corporation Strata Title Plan No. 562 (MCST) telah merusak nama baik perusahaan dan pribadi saya. Saya akan menuntut ganti rugi atas perbuatan mereka itu," demikian ungkapan tegas taipan asal Indonesia yang menjadi pemilik perusahaan Tunas Pte Limited Singapura, Tong Djoe.

Pengusaha kelahiran Sumatera tahun 1926 ini saat dihubungi di Jakarta, Selasa, memang mengungkapkan tekadnya untuk terus berusaha mempertahankan haknya di negeri Singapura melawan MCST.

Berawal dari publikasi di harian Lianhe Zaobao dan harian Straits Times Singapura pada 31 Maret 2009 yang memuat sebuah pemberitahuan bahwa kantor pengacara Messrs Rajah & Tann LCP mewakili MCST telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tinggi Singapura agar memerintahkan Tunas Pte Limited mengakhiri usahanya di gedung Tunas Building.

Alasan tindakan MCST itu karena Tunas Pte Limited dianggap telah menunggak biaya pengelolaan sebesar 43.000 dolar Singapura (SG) lebih dan biaya renovasi 181.000 dolar SG lebih.

Namun Tong Djoe yang masa mudanya ikut berjuang dalam kancah perang kemerdekaan RI bersama dr Adnan Kapau Gani, seorang gubernur militer yang saat itu menguasai wilayah kerja Sumatera bagian selatan, serta merta menolak tuduhan yang dinilainya tidak benar.

"Dua biaya itu kontroversial dan dibuat-buat," kata pengusaha perkapalan itu tegas.


Soal Gedung Tunas

Gedung menjulang tinggi yang memiliki 28 lantai berlokasi di 70 Anson Road ini merupakan soal utama kasus yang menimpa Tong Djoe. Padahal gedung yang diresmikan 20 Oktober 1973 itu memiliki nilai sejarah dalam upaya mendekatkan hubungan antara Indonesia, Singapura dan China.

Dua pemimpin negara saat itu, PM Singapura Lee Kuan Yew dan Presiden Indonesia Soeharto, turut memberikan selamat atas kesuksesan yang diraih Tong Djoe itu saat peresmian gedung megah di tahun-tahun awal pembangunan ekonomi negeri-kota itu.

Kawan dekat sang taipan, Ibnu Sutowo yang saat itu memegang pimpinan perusahaan minyak Indonesia, Permina, (nama awal sebelum Pertamina) pernah melukiskan gedung itu sebagai proses perjuangan Tong Djoe.

"Kita tahu benar awal mula Tunas dan proses perjuangannnya. Kita tahu bagaimana dalam berbagai situasi yang rumit, saudara Tong Djoe dan Tunas tetap bekerja sama erat dengan dunia usaha Indonesia," kata Ibnu Sutowo dalam sambutan peresmian Tunas Building.

"Pada masa sulit ekonomi Indonesia, saudara Tong Djoe juga telah memberikan banyak bantuan kepada Permina yang baru didirikan serta badan-badan usaha milik negara lainnya. Kita juga tahu, beliau pernah memberikan banyak bantuan kepada mantan anggota-anggota angkatan bersenjata kita yang ingin terjun ke dunia bisnis." ujarnya.

Dia merasa bersyukur, melalui kerja keras sekian lama, akhirnya berdirilah bangunan megah ini. Lagi pula bangunan itu terletak di kawasan penting bisnis Singapura sebagai perusahaan sukses yang dimiliki warga Indonesia di luar negeri.

Seiring berkembangnya perekonomian Singapura, Anson Road memang menjadi sentra bisnis dengan kedekatannya dengan pelabuhan yang menjadi pusat pelayaran negeri itu.

Pada tahun 1981, untuk kelancaran usahanya Tong Djoe menjual sebagian besar gedung yang didirikannya itu seharga 85 juta dolar SG, dengan hanya menyisakan tiga lantai teratas sebagai kantor dan tempat parkir di lantai tiga, khusus untuk perusahaan Tunas miliknya.

Bersamaan berjalannya waktu, taipan Indonesia ini tetap mengembangkan bisnisnya di negeri "Merlion" ini sambil berhubungan dengan para politisi untuk membantu semampunya, seperti merekatkan hubungan Indonesia dan Singapura, Singapura dan China, serta Indonesia dan China.

"Dari gedung ini juga saya merapatkan hubungan bilateral dan bisnis antara Indonesia dan Singapura. Ketika tentara Indonesia sudah siap menyerang Singapura awal tahun 1970-an (peristiwa konfrontasi Red.), saya bantu menyelesaikannya. Setelah membaik, saya membawa pengusaha Singapura ke Indonesia," ungkapnya.

Atas upaya Tong Djoe pula, pada tahun 1983 mantan Jaksa Agung Singapura Chen Wen De berhasil melakukan kunjungan pertamanya ke China, tepatnya di kota Xiamen. Sebaliknya pada 1984, terjadi kunjungan balasan dari pejabat China, sehingga saling kunjung itu mendasari hubungan China dan Singapura.

Tak lupa Tong Djoe yang hingga kini tetap WNI dan menolak tawaran berulang kali menjadi warga Singapura itu mulai menghubungkan antara China dan Indonesia.

Pada tahun 1985 diawali dengan adanya penandatanganan persetujuan dagang antara Indonesia dan China, meski belum ada normalisasi hubungan diplomatik.

Dari awalnya perjanjian dagang itu akhirnya Presiden Soeharto mengundang PM China saat itu Li Peng pada 6 Agustus 1990, dan dua hari kemudian dilakukan peresmian pemulihan hubungan diplomatik Indonesia dan China.

Pada tahun 25 Agustus 1998, atas jasa-jasanya Presiden Indonesia saat itu BJ Habibie menganugerahi Bintang Jasa Pratama kepada Tong Djoe melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas.

Menlu mengungkapkan dalam sebagian butir pidatonya bahwa dengan keahliannya di bidang usaha swasta, Tong Djoe membuktikan kepada dunia bahwa seseorang, di mana pun, selama mengemban dedikasi yang tinggi, dan rasa nasionalis yang kuat, ia selalu bisa melakukan sesuatu bagi negara dan rakyat.

"Dalam membantu perjuangan rakyat Indonesia pada masa revolusi mencapai kemerdekaan dan dalam mengisi kemerdekaan, saudara Tong Djoe telah memberikan banyak sumbangan tanpa memperhitungkan nama dan keuntungan. Bahkan di bidang diplomatik, beliau membantu pemulihan diplomatik antara RI dan RRT (China)," ungkap Ali Alatas.

Tak lupa Alatas juga menyatakan terimakasihnya atas upaya Tong Djoe membantu proses pertumbuhan badan usaha milik negara, PT Pelni dan Permina.


Merusak Nama Baik

Sebagai pengusaha yang berakar pada tiga negara, Tong Djoe tetap terus mengupayakan peningkatan hubungan dekat di antara Indonesia, Singapura dan China, yang tidak hanya di bidang dagang, namun juga bidang diplomatik dan kebudayaan.

Setelah tiga dasa warsa lebih usahanya berjalan lancar, baik hubungan dengan para negarawan maupun pengusaha di tiga negara itu, namun kini hari-hari Tong Djoe sedang terusik dengan perilaku MCST itu.

MCST yang kini menjadi pemilik Tunas Building (Apex Tower) setelah beberapa kali pindah tangan, mempermasalahkan Tunas Pte Limited (perusahaan milik Tong Djoe) yang dinilai tidak mau menanggung biaya renovasi sebesar 181.000 dolar SG lebih.

"Tiga lantai bangunan yang dimiliki Tunas (lantai 27, 28 dan lantai teratas) tidak berada dalam proyek renovasi. Tentu saja Tunas Pte Limited menolak membayar biaya tersebut," kata Tong Djoe.

Lebih buruknya lagi, katanya, MCST melalui pengacaranya tidak hanya meminta kepada Pengadilan Tinggi Singapura agar Tunas berhenti usahanya di gedung itu, namun memberitahu semua piutang Tunas agar menyatakan sikap dukungannya, serta bank-bank terkait agar melelang asetnya.

Menurut Tong Djoe, tindakan MCST itu tentunya tidak hanya merusak nama baik Tunas Pte Limited saja, tetapi juga sangat mencoreng nama baik pribadinya, sehingga dengan dasar itu dia memutuskan akan menggugat MCST dan meminta ganti rugi.

MCST diminta pula nantinya memberikan pernyataan minta maaf di surat kabar dan situs internet demi tegaknya keadilan, tambah sang taipan yang selalu memiliki hubungan dekat dengan para presiden Indonesia sejak Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.(*)

Oleh Oleh Zaenal Abidin
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009