Jakarta (ANTARA News) - Pusat Dokumen Sastra HB Jassin (PDSHBJ) yang berada di kawasan Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki Jakarta masih menyimpan koleksi buku cerita kesusastraan Melayu Tionghoa yang diterbitkan tahun 1892.
"Novel ini masih tersimpan dengan baik di ruang perpustakaan dan sebagian di tempat khusus dan dibuatkan dalam bentuk micro film," kata Kepala Perpustakaan (PDSHBJ), Endo Senggono di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, dari ratusan novel itu di antaranya berjudul Boegaroes dari Djikembang yang bercerita tentang kehidupan seorang gadis China ketika itu. Kemudian "Misih ketjil dapet melarat" karya Merk Goan Bie Ho diterbitkan di Sukabumi, Jawa Barat.
Buku cerita itu, kata dia, dulunya dilarang Belanda untuk dibaca di sekolah-sekolah, sehingga para pribumi dan khusus Tionghoa saat itu hanya bisa membacanya di rumah.
"Kami berhasil mengumpulkannya, dan sebagian besar novel itu diserahkan langsung oleh para keturunan Tionghoa di Tanah Air," katanya.
Ia menjelaskan, yayasan HB Jassin yang dibentuk tahun 1977 mendapat bantuan gedung dari pemerintah saat itu di kawasan TIM.
Yayasan ini telah mengoleksi ribuan informasi dan foto mengenai tokoh sastra dan budaya serta hasil ciptaanya yang telah mengukir sejarah kesusastraan Indonesia yang dirintis oleh kritikus sastra HB Jassin sejak tahun 1930-an.
Koleksi yang dimiliki antara lain 17.316 judul buku fiksi, 12.290 judul non fiksi, 507 judul buku referensi,812 judul buku atau naskah drama, 875 map biografi pengarang, 571 judul makalh, 630 judul skripsi dan disertasi, 732 buah kaset rekaman suara dan 15 buah kaset rekaman video.
Buku koleksi PDSHBJ itu, katanya, tentang naskah drama, novel, puisi dan kritik esai baik dari pengarang terkenal Indonesia seperti Moehtar Lubis, Chairil Anwar, Armin Pane, Marah Rusli dan Hamka yang dimanfaatkan orang sebagai referensi buku kuliah dan skripsi serta bahan penelitian.
Selain dari dalam negeri juga mancanegara dia ntaranya Belanda, Kanada, Australia, dan Jepang.
"Kita bangga memiliki catatan sejarah yang menggambarkan kayanya khazanah budaya Indonesia," katanya.
Menurut Endo, untuk memelihara ribuan buku itu tentunya membutuhkan dana, selama ini biaya operasional diusahakan pihak yayasan dibantu para donator yang peduli terhadap seni dan budaya, sementara bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sangat minim.
Bantuan dari pemerintah untuk 2009, jelas dia, hanya Rp275 juta, turun dibanding tahun sebelumnya mencapai Rp350 juta, sedangkan biaya operasional dalam setahunnya sebesar Rp500 juta.Disamping itu pihaknya membutuhkan dana sekitar Rp3 miliar untuk biaya perbaikan atau rehabilitasi gedung.
"Untuk menekan biaya operasional itu terpaksa beberapa kegiatan dikurangi bahkan ditiadakan," katanya.
Bahkan, dia mengakui keberadaan gedung sastra itu ke depannya masih belum jelas, karena persoalan dana operasional yang masih ditangani pihak yayasan dengan keuangan sangat minim.
"Kami mengharapkan adanya peranan atau kepedulian pemerintah untuk keberlangsungan lembaga sastra satu-satunya di Tanah Air ini," kata Endo.
(*)
Oleh
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009