Jakarta (ANTARA News) - Terpidana perkara cessie (hak tagih) Bank Bali, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin, Selasa, dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas I Cipinang untuk menjalani eksekusi atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman kepadanya dua tahun penjara.
Syahril dibawa ke LP Cipinang sekitar pukul 10.25 WIB setelah tiba di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pukul 10.00 WIB.
Dia didampingi sejumlah Jaksa dengan menggunakan mobil kijang LGX bernomor polisi B 2048 PQ warna biru. Ia duduk di bangku ke dua.
Di belakang kendaraan yang ditumpangi Syahril terdapat mobil kijang bernomor polisi B 2338 PQ dan satu unit mobil sedan BMW B 2011 UG.
Di dalam mobil ini terdapat seorang ibu dan anak perempuan. Tidak diketahui pasti apakah itu istri dan anak dari mantan Gubernur BI itu. Tidak ada pengawalan ketat dari aparat kepolisian yang mengikuti rombongan terpidana Syahril.
Tidak lama berselang, Kepala Kejari Jakarta Pusat, Tris Sumardi juga menyusul dengan menggunakan mobil dinas kijang Panther.
Tris mengatakan, pihaknya hanya menjalankan tugas selaku eksekutor atas putusan MA yang menghukum Syahril dua tahun penjara.
"Yang lainnya kita tidak tahu. Kita hanya melaksanakan eksekusinya di sana (Cipinang)," kata Tris saat memasuki kendaraannya menuju ke Cipinang.
Pelaksanaan eksekusi itu terkait putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Kejagung.
Selain Syahril Sabirin, Kejagung juga akan mengeksekusi Djoko Tjandra, pemilik PT Era Giat Prima (EGP).
Dalam petikan putusan MA Nomor: 12PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 untuk Djoko Tjandra disebutkan bahwa barang bukti berupa uang yang ada dalam rekening penampung atas nama rekening Bank Bali sejumlah Rp546,468 miliar, dirampas untuk dikembalikan ke negara.
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mencekal dua terpidana perkara cessie (hak tagih) Bank Bali sebesar Rp546 miliar, Djoko Tjandra, pemilik PT Era Giat Prima (EGP), dan Syahril Sabirin, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI).
Kasus ini berawal pada cessie antara PT Era Giat Prima (EGP) dan Bank Bali pada Januari 1999.
Perjanjian itu ditujukan untuk mencairkan piutang Bank Bali di tiga bank (BDNI, BUN dan Bank Bira) senilai Rp3 triliun. Namun yang bisa dicairkan oleh EGP (setelah diverifikasi BPPN-red) hanya sebesar Rp904 miliar dari nilai transaksi Rp1,27 triliun (di BDNI).
Pencairan piutang sebesar Rp904 miliar itu melibatkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang meminta BI melakukan pembayaran dana itu.
Kasus ini mencuat setelah muncul dugaan praktik suap dan korupsi dalam proses pencairan piutang tersebut. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009