PBB (ANTARA News/Reuters) - Perselisihan antara Rusia dan Barat menyangkut negara tetangganya, Georgia, memuncak Senin ketika Moskow mengancam memveto rencana Barat untuk memperpanjang mandat misi PBB di negara bekas republik Uni Sovyet itu.
Dewan Keamanan PBB dijadwalkan melakukan pemungutan suara Senin malam mengenai rancangan resolusi sponsoran AS-Eropa yang akan memperpanjang selama dua pekan mandat misi PBB di wilayah separatis Georgia, Abkhazia, yang mendeklarasikan kemerdekaan tahun lalu setelah perang singkat Rusia dengan Georgia.
Misi PBB di Georgia, yang dikenal sebagai UNOMIG, dibentuk pada 1993, setelah Abkhazia menjatuhkan kekuasaan Tbilisi, untuk mengawasi kepatuhan gencatan senjata antara pasukan Georgia dan Abkhazia. Jika mandatnya tidak diperpanjang, maka seluruh misi itu akan berakhir, kata Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin kepada wartawan.
Perpanjangan mandat dua pekan akan memberi waktu kepada Rusia dan negara-negara Barat di DK yang beranggotakan 15 negara untuk berusaha mencapai kesepakatan mengenai rencana jangka panjang bagi misi PBB itu.
"Dalam keterbukaan tradisional kami, saya mengisyaratkan bahwa Rusia akan memberikan suara tidak pada rancangan ini," kata Churkin setelah pertemuan tertutup dewan. "Jika harus ada pemungutan suara, maka akan ada pemungutan suara, namun resolusi yang diusulkan mitra-mitra Barat kami ini tidak akan disahkan malam ini oleh Dewan Keamanan."
Rusia menolak rancangan itu, kata Churkin, karena hal itu menunjuk pada resolusi DK 1808 dari April 2008, yang mengkuhkan lagi "integritas wilayah" Georgia. Ia menyebut penunjukan itu sebagai "racun politik".
Hubungan Rusia dengan negara-negara Barat memburuk setelah perang antara Rusia dan Georgia menyangkut Ossetia Selatan, wilayah separatis lain di Georgia.
Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.
Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun lalu itu.
Selain Ossetia Selatan, Abkhazia juga memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.
Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat
Ossetia Selatan pada 11 Maret menyatakan akan mengizinkan pasukan Rusia menggunakan wilayah tersebut untuk pangkalan militer selama 99 tahun.
Pemimpin Abkhazia Sergei Bagapsh juga mengatakan sebelumnya pada Maret, provinsi itu akan segera menandatangani sebuah perjanjian yang mengizinkan Rusia membangun sebuah pangkalan di wilayah separatis lain Georgia itu untuk kurun waktu 49 tahun.
Rencana Rusia untuk tetap menempatkan ribuan prajurit di Abkhazia dan Ossetia Selatan telah membuat marah Tbilisi dan sekutu-sekutu Barat-nya, yang mengatakan bahwa hal itu melanggar gencatan senjata yang mengakhiri perang.
Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.
Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.
Nikaragua memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009