"Menurut saya dua pasangaan capres Mega-Pro dan JK -Win perlu kita korek lebih dalam karena mereka sudah memberikan arah yang bisa menjadi harapan untuk kebangkitan ekonomi kita," ujarnya di Jakarta, Senin.
Direktur Eksekutif Econit Advisory Group ini mengatakan visi dan misi kedua pasangan sama-sama memiliki arah kebijakan berbeda dari capres Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang akan melanjutkan kebijakan ekonomi liberal seperti berlaku sekarang.
Jusuf Kalla-Wiranto mengedepankan kemandirian ekonomi bangsa pada memanfaatan sumber daya alam atau pada komoditas tertentu untuk dikembangkan melalui industri pengolahan sehingga mempunyai nilai tambah dan menciptakan kesempatan lapangan kerja.
Sementara Yudhoyono-Boediono jelas menyatakan Indonesia adalah eksportir bahan mentah, sedangkan Mega-Prabowo dalam agenda ekonominya akan mengoptimalkan BUMN sebagai tulang punggung untuk pengelolaan sumber daya alam.
Untuk pembiayaan pembangunan, Megawati menyatakan akan menghapus utang luar negeri atau penundaan pembayaran, sedangkan Kalla memilih kemandirian pembiayaan, sementara Yudhoyono menggantungkan pada utang, industri dan investasi dengan kebijakan liberal.
Kemudian dari sisi perdagangan ritel, Yudhoyono bertekad memperbaiki dukungan terhadap pasar tradisional yang dewasa ini market sharenya turun drastis dari 74 menjadi 60 persen.
"Padahal saat ini capres incumbent masih memerintah dan seharusnya tidak perlu menunggu enam bulan atau setelah pemilu presiden karena market sharenya akan terus tergerus. Ini menjadi lucu menurut saya, apakah ia nanti setelah menang akan dikoreksi," ujarnya.
Dewasa ini, kata dia, lembaga-lembaga internasional menyatakan Indonesia paling liberal untuk perdagangan ritel karena di Jepang dibatasi satu persen untuk ritel asing, kemudian di Korea dibatasi tiga persen, sedangkan pembatasan di Indonesia mencapai tertinggi dengan 13 persen. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009