"Jangan sampai jiwa-jiwa budaya kemudian dibungkam atau ditekan oleh berbagai hal-hal yang justru mengurangi ekspresi kebebasan," katanya di Magelang, Minggu (14/6), saat singgah di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, untuk menyaksikan pementasan berbagai kesenian rakyat oleh ratusan seniman petani dari Komunitas Lima Gunung Magelang.
Ia menyatakan, jiwa budaya yang terwujud dalam kebebasan berekspresi itu sebagai bagian dari benih-benih inovasi bangsa pada masa mendatang.
Berbagai pementasan kesenian tradisional dan kontemporer yang disuguhkan Komunitas Lima Gunung pimpinan Sutanto Mendut kepada Boediono dan rombongan dalam perjalanan kampanyenya itu antara lain musik "Truntung Semesta", performa seni anak Sekolah Gunung, tarian "Geculan Bocah", "Rodat Putri", "Topeng Ireng", "Soreng", "Topeng Kencono", "Grasak", "Topeng Saujan", "Kuda Lumping", dan wayang orang dengan lakon "Samiaji".
Lima gunung yang mengelilingi Magelang adalah Merapi, Merbabu, Menoreh, Andong, dan Sumbing.
Ia menyatakan bahwa pembatasan jiwa kebebasan berekspresi sebagai hal yang buruk.
"Jangan kita batasi kebebasan, spirit atau jiwa kita ini, terutama bagi anak-anak kita," katanya.
Pergelaran seni dan budaya di Studio Mendut yang terletak sekitar tiga kilometer arah timur Candi Borobudur itu, katanya, sebagai wujud dari ekspresi kebebasan.
"Di sini ada jiwa yang bebas sekali, dari bawah ekspresinya luar biasa, lepas sekali, tidak dengan aturan-aturan yang begitu ketat. Saya senang sekali, bahwa jiwa bebas ini masih ada di pelosok Tanah Air kita," katanya.
Ia mengaku semakin terbuka pandangan budayanya setelah menyaksikan pergelaran kesenian oleh kalangan seniman petani lima gunung itu.
Kekayaan seni dan budaya yang selama ini dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat, katanya, kemungkinan tidak akan terkena dampak negatif atas arus kesejagatan.
"Bahwa kreativitas itu berasal dari bawah, itu yang dilandasi dengan jiwa bebas, dinamis sekali, dan saya percaya bahwa kebudayaan seperti ini akan tumbuh terus dan mungkin tidak akan terkena dampak negatif globalisasi," katanya.
Jika menang Pemilu Presiden (Pilpres) pada tanggal 8 Juli 2009 bersama pasangannya, Calon Presiden Susilo Bambang Yudoyono, katanya, dirinya akan memperhatikan berbagai kebudayaan lokal sebagaimana di kawasan lima gunung Magelang itu.
Saat para murid Sekolah Gunung, sekolah alternatif yang dikelola Komunitas Lima Gunung Magelang, menggelar performa seni berkolaborasi dengan pementasan musik kontemporer bertajuk "Truntung Semesta", Boediono bersama para penonton lainnya menerima dari para pementas itu berupa fotokopi bertuliskan "Lima Seruan Sekolah Gunung untuk Kebudayaan Politik".
Lima seruan itu antara lain berisi Tuhan bukan alat kepentingan kampanye politikus yang parsial apalagi dangkal, kemanusiaan yang berkebudayaan adiluhung adalah setara dengan kampanye politik yang kultural edukatif dan beradab, kaum miskin dan petani bukan ladang pembodohan politik dan korban sasaran politik, apalagi mencederai persatuan.
Selain itu, rakyat Magelang diimbau belajar tentang martabat dan harga diri dalam politik sebagai nilai budaya lokal yang mengindahkan musyawarah horizontal, dan berseru kepada seluruh warga lokal Magelang untuk terlibat kritis dan ikut menjaga lingkungan dari iklan politik tak kultural, baik di ruang konkret fisikal maupun lewat multimedia.
"Saya tidak kampanye di sini, terserah nanti siapa pun yang rakyat memilih itu, dengan senang hati kami akan terima, tetapi pesan-pesan dari Sekolah Gunung tadi saya catat, soal keberadaban politik, keberadaban dari kehidupan ekonomi, sosial, sangat penting. Kalau rakyat memberikan mandat, tentunya kami akan memperhatikan sekali masalah seperti ini," kata Boediono. (*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009