Jakarta (ANTARA News) - Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (Civil Society Forum for Climate Justice/CSF) mendesak negara-negara Annex 1 memenuhi komitmennya memotong emisi sebagaimana telah disepakati dalam Protokol Kyoto.
Perundingan Bonn Climate Change Talks yang sedang berlangsung (1-12 Juni 2009) seharusnya memastikan pemenuhan komitmennya dalam Protokol Kyoto, bukan menyodorkan proposal baru untuk mengamandemen Protokol Kyoto, kata CSF dalam siaran pers yang diterima ANTARA News, Kamis.
Pertemuan Juni merupakan saat yang tepat untuk mengubah arah perjalanan pembicaraan perubahan iklim. "Indonesia sebagai negara yang terkena dampak perubahan iklim harus memainkan peran dalam menentukan arah negosiasi, yaitu tetap fokus pada penurunan emisi secara nyata yang merupakan tujuan awal UNFCCC,” kata Koordinator CSF Giorgio Budi Indarto.
COP 15 nanti benar-benar merupakan kesempatan terakhir dunia untuk mewujudkan keadilan iklim, sehingga CSF meminta agar para delegasi yang hadir dalam Bonn Climate Change Talks II benar-banar mengambil tindakan yang dapat menyelamatkan dunia.
Masyarakat sipil juga meminta agar semua pembicaraan negosiasi Juni, baik mitigasi maupun adaptasi mengadopsi konsep HELP dalam solusi perubahan iklim yang ditawarkannya. Masyarakat sipil Indonesia tidak akan mentolerir jika skema-skema penanganan perubahan iklim yang ditawarkan berpotensi merugikan masyarakat. Itu sebabnya setiap tindakan konkrit untuk mengatasi dampak perubahan iklim harus diambil namun tetap menjamin hak masyarakat.
Hal lain yang menjadi keprihatinan masyarakat sipil adalah mekanisme pendanaan yang seharusnya tidak boleh lagi bergantung pada model hutang, proses manipulasi pengurangan emisi negara maju melalui mekanisme offset yang tidak akan dapat menstabilisasi volume GRK secara global.
Bagi Indonesia, upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan tidak boleh lagi menimbulkan masalah baru, seperti konversi lahan tanaman pangan ke lahan tanaman bahan baku biofuel yang akan mengurangi kapasitas produksi pangan, atau pun mengubah ekosistem rawa gambut dan laut sebagai penyeimbang iklim mikro dan makro yang sangat erat dengan kepentingan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya setempat.
Pengelolaan hutang ekologis sebaiknya dilakukan melalui mekanisme transitional justice. Kejahatan-kejahatan lingkungan harus diproses terlebih dahulu untuk menegakkan keadilan kepada para korban, dan untuk pemulihan ekosistem yang telah dirusak dalam praktek-praktek eksploitasi kekayaan alam oleh para korporasi multi nasional.
Forum masyarakat sipil Indonesia untuk keadilan iklim menegaskan, negara maju wajib mengontrol dan mengevaluasi investasi-investasinya di sektor kehutanan-perkebunan, dimana kedua sektor ini memasok kebutuhan primer mereka, yang berdampak kepada pembukaan kawasan hutan dan rawa gambut di Indonesia untuk industri perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.
Mereka juga harus memastikan agar proyek-proyek uji coba dan modeling REDD (reducing emission from deforestation and degradation) yang didanai tidak melanggar hak-hak masyarakat terhadap kawasan adat, hutan, dan lingkungan hidup di Indonesia.
Tanpa memperhatikan berbagai hal tersebut, penanganan perubahan iklim tidak akan tercapai, dan perundingan UNFCCC hanya menjadi ajang bisnis karbon yang gagal menyelamatkan bumi ini, demikian CSF.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009