"Ini karena struktur produksi dan ekspor Indonesia tidak banyak berubah sejak jaman kolonial," kata Anwar dalam rapat paripurna DPD-RI mengenai hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2008 di Jakarta, Rabu.
Anwar menilai penerimaan negara masih sangat tergantung pada royalti eksploitasi sumber daya alam. Anwar menilai ini sebagai titik rawan karena Indonesia menjadi rentan dari gejolak harga di luar negeri.
Kondisi ini diperparah oleh belum bisanya Indonesia membangun industri yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Menyangkut pelaksanaan APBN 2008, Anwar menyebutkan, realisasi pendapatan dan belanja pada 2008 menunjukkan kenaikan dibandingkan tahun 2007 dari semula sekitar Rp708 triliun, naik 39 persen menjadi sekitar Rp982 triliun.
Jenis pendapatan yang naik paling tinggi adalah penerimaan pajak yang naik sekitar Rp168 triliun atau 34 persen, kemudian disusul PNBP sekitar Rp105 triliun atau 49 persen.
"Penerimaan SDA paling signifikan dalam menyumbang kenaikan PNBP sebesar sekitar Rp91 triliun atau 69 persen," kata Anwar dalam rapat yang dipimpin Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita.
Namun karena terbatasnya informasi, BPK belum dapat menilai kinerja Ditjen Pajak, apakah kenaikan penerimaan pajak itu prestasi yang menonjol dibandingkan dengan potensinya ataupun dibandingkan dengan negara lain yang sepantaran Indonesia.
Anwar menyebutkan, meski mengalami kenaikan, penerimaan pajak dan PNBP belum dapat memenuhi kebutuhan belanja pemerintah yang terus meningkat.
Dalam kesulitan ekonomi global yang tengah terjadi dewasa ini, peningkatan pengeluaran negara yang sangat menonjol adalah untuk keperluan subsidi bagi golongan masyarakat kurang mampu.
Berdasarkan LKPP 2008, defisit anggaran negara yang semakin besar ditutup dengan penjualan SUN (Surat Utang Negara) terutama yang dijual ke luar negeri dan dijamin oleh Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Pemerintah Jepang, dan Australia. (*)
Pewarta: Ricka Oktaviandini
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009