"Terjadi reassortment pada virus flu ini, di mana flu babi yang baru ini berasal dari babi yang terkena flu babi, flu burung dan flu manusia," kata dokter ahli paru dr Sita Andarini PhD, SpP seusai Dialog mengenai Flu Babi yang diselenggarakan lab Kyoai di Jakarta, Selasa.
Sita mengatakan, babi di peternakan selalu terserang flu setiap tahun misalnya setiap akhir musim gugur, namun virus flu babi ini berbeda dengan virus flu babi H1N1 yang baru.
"Pada virus flu babi baru ini terjadi kombinasi gen, sehingga virus berubah menjadi gen virus baru H1N1," katanya.
Virus flu sendiri, jelasnya, banyak tipenya. Pada manusia ada virus flu H3N2, H3N1, H1N1, sedangkan pada babi H1N1 dan pada burung H5N1.
Ia juga mengingatkan bahwa flu babi tidak hanya bisa terjadi di daerah subtropis, dingin, atau lintang tinggi, karena virus flu babi itu optimal hidup di suhu 37 derajat Celcius.
"Sekarang ini penyebaran flu babi justru sedang menuju ke kawasan tropis," katanya sambil meminta masyarakat mewaspadai hal ini.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terkena kasus flu babi, ia meminta, agar masyarakat menolak kontak dengan seorang yang terkena flu, menggunakan masker khusus, selalu mencuci tangan, serta beristirahat di rumah jika terkena flu.
Pasien flu yang suspect (diduga) flu babi, ujarnya, diisolasi selama tujuh hari setelah gejala awal. Setelah tujuh hari dan dinyatakan sembuh total maka sudah tidak menular lagi dan bisa kembali beraktivitas.
Namun demikian hingga kini vaksin flu babi seperti juga flu burung belum ada yang sudah menjalani fase uji klinik, sedangkan Tamiflu hanyalah suatu obat antivirus.
"Masalahnya adalah sulit mendisain vaksin dan sulit memproduksi vaksin begitu banyak pada waktu pandemi terjadi ketika ribuan orang sudah terkena," katanya.(*)
Pewarta: Ricka Oktaviandini
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009