Nasi kotak dengan menu mangut lele itu tampak nikmat dipadu dengan irisan mentimun serta daun singkong rebus. Hidangan siap santap tersebut bukanlah pesanan para pelanggan restonya, melainkan untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada warga terdampak COVID-19 di Kota Gudeg itu.
"Kami mampu membuat 100 nasi kotak setiap hari," kata Neni saat ditemui di restonya, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, target 100 kotak nasi setiap hari diukur berdasarkan perkiraan rata-rata kapasitas tenaga yang dimiliki beserta empat karyawannya yang ikut membantu secara bergantian mulai pukul 14.00 WIB hingga 19.00 WIB.
Bagi perempuan kelahiran Yogyakarta, 16 Juni 1969, ini, bekerja sosial di tengah pandemi COVID-19 harus terukur dan jangan sampai terforsir atau terlalu lelah. "Kalau pulang terlalu capek malah bisa jadi penyakit," kata dia sembari tertawa.
Inisiatif untuk membuka dapur umum COVID-19 muncul setelah Restoran Kedai Kebun ia putuskan tutup sementara pada 1 April 2020. Ini lantaran sudah tidak lagi ada pengunjung atau wisatawan yang mampir.
"Untuk memutuskan tutup waktu itu kami masih melihat situasi, pokoknya kami masih akan melayani sampai tamu terakhir," kata perempuan yang pernah menjadi Direktur Yayasan Biennale Yogykarta ini.
Restoran Kedai Kebun merupakan bagian dari Kedai Kebun Forum (KKF) yang tidak asing bagi pegiat seni di Yogyakarta. Selain resto, KKF juga terdiri atas galeri, ruang pertunjukan, dan toko buku. Sebagai upaya memutus mata rantai penularan COVID-19, seluruh agenda pameran atau pertunjukan seni pun telah ditiadakan sementara.
Meski lapak usahanya tutup, Neni berprinsip bahwa nalar dan fisiknya tidak boleh ikut berhenti. Keduanya harus terus tetap bergerak dan berkontribusi untuk sesama menghadapi COVID-19 dengan menyiapkan makanan siap saji.
"Kita harus tetap menjaga nalar, harus berpikir, dan kemudian harus memberikan sesuatu supaya seimbang," kata dia.
Dapur umum di restoran Neni memang tak seperti dapur umum yang banyak ditemui di posko-posko darurat. Tak ada penanda khusus. Hanya ada Neni dan dua pekerjanya yang silih berganti menyiapkan nasi kotak.
Aksi yang dilakukan Neni bekerja sama dengan gerakan sosial Aksi Dapur Berbagi yang diinisiasi para seniman, pekerja kreatif, pegiat budaya, dan peneliti di Yogyakarta. "Saya mengajukan diri. Pokoknya saya punya tenaga dan dapur," kata dia.
Selain berperan memasok bahan-bahan mentah yang diperoleh dari para donatur, para sukarelawan Aksi Dapur Berbagi selanjutnya mendistribusikan nasi kotak dari Neni kepada masyarakat yang dinilai terdampak COVID-19.
Utamakan kualitas rasa
Kendati tidak tahu pasti ratusan nasi kotak buatannya bakal dikonsumsi siapa saja, ia memiliki prinsip bahwa menyajikan hidangan harus sepenuh hati dengan memperhatikan kualitas rasa.
Berbeda dengan saat memasak nasi bungkus untuk korban bencana erupsi Merapi, menurut dia, situasi saat ini cukup misteri karena dirinya tidak tahu bagaimana suasana hati dan selera para konsumen masakannya. "Ketika membuat masakan, emosi dan jiwa itu harus selesai di sini karena begitu keluar kita enggak tahu untuk siapa," kata dia.
Ia bertekad agar menu yang ia sajikan hari ini tak akan berulang untuk hari berikutnya. Sesekali, Neni juga akan memilih menu-menu masakan dengan cita rasa Indonesia Timur karena berdasarkan informasi yang ia terima sebagian nasi kotak darinya disalurkan untuk para mahasiswa Yogyakarta asal Indonesia bagian timur yang tak bisa mudik karena terjebak COVID-19.
"Jadi supaya ada perasaan ingat kepada tanah kelahiran. Misalnya untuk mahasiswa dari Nusa Tenggara Timur (NTT) mereka terbiasa makan jagung, maka saya akan memasak dengan campuran jagung," kata dia.
Persoalan rasa memang ia perhatikan secara mendetail karena diyakini memiliki fungsi untuk menjaga emosi dan perasaan penerima bantuan nasi kotak buatannya dalam situasi saat ini.
Musuh tak tampak
Menurut Neni, COVID-19 merupakan musuh yang tak tampak sehingga harus dilawan dengan berbagai cara. Keterbatasan ruang untuk melawan infeksi virus corona jenis baru itu harus ditempuh dengan kesungguhan, termasuk dalam menyajikan hidangan bagi masyarakat terdampak.
Selain itu, Neni yang juga pegiat seni ini memaknai kegiatan membuat nasi kotak sebagai salah satu perwujudan seni yang bersinggungan dengan aspek kemanusiaan.
Seni, menurut dia, tidak harus selalu berwujud dalam bentuk lukisan maupun membuat patung karena esensi berkesenian adalah berbagi keindahan. "Karena dalam berbagi ini kita sedang berbagi tentang keindahan," kata dia.
Inisiator Aksi Dapur Berbagi, Ignasius Kendal mengatakan Yustina Neni adalah satu di antara para pegiat seni dan budaya Yogyakarta yang bersedia terlibat dalam gerakan sosial ini
Menurut Kendal, nasi kotak sebagian didistribusikan sukarelawan Aksi Dapur Berbagi untuk para mahasiswa luar daerah di Yogyakarta yang terjebak tidak bisa mudik serta terkendala uang bulanan dari orang tua. Selain itu, gerakan itu juga menyasar pelaku seni yang juga terdampak pandemi.
"Untuk makan siang dibagikan ke tenaga alih daya RSUP Sardjito, RSUD Sleman, kalau malam ke komunitas waria, pengamen jalanan, serta lansia di bantaran sungai," kata Kendal.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020