Surabaya (ANTARA News) - Presiden Terpilih hasil Pemilihan Umum 2009 diyakini sulit mengubah kondisi perekonomian Indonesia, karena ketiga pasangan capres-cawapres dinilai tidak memiliki visi ekonomi yang jelas.

"Ketiganya `incumbent` alias pemain lama yang hanya bisa memberikan gambaran angka pertumbuhan ekonomi tanpa menunjukkan cara yang paling realistis untuk mencapainya," kata Pengamat Ekonomi, Faisal Basri, setelah menjadi pembicara pada Seminar Nasional Menyoal Dinamika Perekonomian yang dilaksanakan DPW NU Jawa Timur, di Hotel Satelit Surabaya, Selasa.

Menurut dia, ketiganya pernah berada di pucuk pimpinan pemerintahan. Namun sejauh ini tidak ada perubahan yang berarti dari kepemimpinan mereka.

"Jika angka pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono 7 persen dan dua digit oleh pasangan Jusuf Kalla-Wiranto serta Megawati-Prabowo, hanya menjadi angka yang sumir, karena mereka tidak memiliki kerangka pelaksanaan yang jelas," ujarnya.

Ia menyatakan, pasangan capres-cawapres yang ada saat ini terlalu mengobral janji untuk mengubah kondisi ekonomi seperti janji mewujudkan enam juta lahan pertanian baru yang menurutnya tidak masuk akal.

"Pada era Soeharto, menciptakan 1 juta hektare lahan pertanian dari lahan gambut terbukti tidak terlaksana, kini justru mereka optimistis mencapai 6 juta hektare. Perlu dipahami, untuk membangun lahan seluas itu perlu pembangunan irigasi lebih dari lima tahun," katanya.

Di tempat yang sama, Pengamat Ekonomi yang juga mantan Kepala Bappenas era kepemimpinan Megawati, Kwik Kian Gie, mengatakan, hingga sekarang belum ada sistem ekonomi yang sesuai untuk mengawal perekonomian Indonesia.

"Saat ini, Indonesia masih membutuhkan banyak intervensi dari pemerintah untuk bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat dari potensi ekonomi yang ada. Akan tetapi, harus hati-hati terhadap intervensi asing dalam pengelolaan sumber daya alam kita," katanya.

Ia mengakui, di sisi lain ada pembangunan seperti banyaknya hotel mewah, apartemen, dan pusat perbelanjaan di kota-kota.

"Apabila dibandingkan dengan taraf hidup 180 juta warga negara yang berada dalam kategori miskin di desa-desa, kondisi ini cukup memprihatinkan," katanya.

Hal ini, kata dia, terkait pandangan pemerintah yang disetir pihak asing dalam memanfaatkan sumber daya yang ada misalnya mengenai harga BBM yang membebani masyarakat. Padahal, Indonesia memiliki sumber minyak yang cukup.

"Ini memang ada kekurangan, tetapi jika minyak yang ada dapat diolah dan dikenakan harga pengolahan saja, maka harga BBM tidak akan tinggi," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009