"Yah. Kita hargai," kata Direktur RS Omni International, Bina Ratna Kusumafitri, kepada wartawan seusai rapat dengar pendapat dengan komisi IX DPR, Senin sore.
Setelah rapat ditutup oleh Wakil Ketua Komisi IX, Umar Wahid, Ratna langsung diserbu wartawan untuk dimintai tanggapanya mengenai keputusan komisi IX tersebut.
Namun Ratna memilih bungkam meskipun wartawan sudah mendesaknya dan membuntutinya hingga ke luar gedung. Direktur RS Omni International ini bersedia memberi komentar singkat setelah di luar gedung DPR sambil menunggu jemputan.
"Kita hargai," kata Ratna mengulang.
Demikian halnya terkait dengan permintaan Komisi IX agar Omni International mencabut tuntutannya terhadap Prita Mulyasari, Ratna sama sekali tidak bersedia memberi komentar.
Dia hanya mengatakan, mereka juga rakyat, sama seperti Prita Mulyasari. Menurutnya apa yang menjadi keputusan Komisi IX tersebut sudah mendapat pertimbangan dari anggota DPR itu.
"Pasti dewan sudah punya pertimbangan. Kita juga rakyat," kata Ratna.
Demikian halnya dengan kuasa hukum Omni International, Heribertus, yang ikut mendampingi mereka saat dengar pendapat.
"Kita lihat saja perkembangannya," katanya.
Apakah kemungkinan Omni International juga akan menemui Prita, Heribertus hanya mengatakan, tergantung dari perkembangan berikutnya.
Komisi IX DPR RI setelah tidak menemukan kata sepakat dengan pihak manajemen Omni International, akhirnya memutuskan empat poin terkait dengan kasus yang menimpa Prita Mulyasari.
Pertama, Komisi IX menyatakan tidak puas atas penjelasan Omni International. Kedua, merekomendasikan pencabutan izin operasional RS Omni International karena dinilai tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Ketiga, meminta pengelola rumah sakit mencabut gugatan yang dilayangkan terhadap Prita, dan pencabutan gugatan tersebut tanpa syarat. Keempat, Omni International diminta menyampaikan permintaan maaf atas tindakan yang telah dilakukan terhadap Prita Mulyasari.
Umar Wahid mengatakan, surat rekomendasi pencabutan izin operasional rumah sakit tersebut akan segera dikirim ke Departemen Kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat.
"Rekomendasi tertulis besok (Selasa) akan dikirimkan," kata Umar yang memimpin jalannya rapat dengar pendapat.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
mau di hargain brapa bu....????
Saya setuju bahwa pihak menejemen rumah sakit telah melanggar HAM dan telah melakukan pemberangusan thd suara kritis pasien. Dan ini jelas suatu sikap yang arogan dan tidak demokratis.
Usul saya, pemerintah (dalam hal ini Depkes) harus melihat kasus ini dengan bijaksana: jangan sampai semua tenaga kerja yg tdk tahu menahu tentang duduk persoalannya harus ikut menanggung akibatnya.
Menurut saya kalau DPR memang harus merekomendasikan untuk di Tutup... Ya Tutup saja... sesuai dengan alasan dan dasar pemikiran yang sehat tentunya.
Soal pekerja yang ada dalam RS Omni itu urusan lain, jika tetap terus berdiri maka sangat disayangkan jika orang-orang itu/karyawan telah ikut turut serta berperan dalam MELANGGAR HAM sebagai mana tuduhan DPR.
Apa karyawan itu mau, nantinya dituduh ikut turut serta membantu perbuatan perusahaannya melanggar HAM?
Saya contohkan, pabrik extasi adalah usaha yang melanggar pidana, maka karyawan yang bekerja adalah karyawan yang turut serta dalam perbuatan pidana dari pimpinan pabriknya!!!
Jadi kondisi karyawan akan bekerja apa tidak, tidak boleh mempengaruhi status hukum dari perusahaannya!! lantas mau bekerja dimana?? ya... cari lah kerja yang tidak melanggar HAM, cari kerja yang perusahaannya tidak melanggar pidana atau cari kerja yang perusahaannya tidak HARAM.. dan lain-lain.
Semoga kita selalu berpikiran komprehensif dan bersih dari kotoran.
Pesan saya untuk RS Omni:
Kalau sesuatu masalah bisa dibuat mudah dan simpel kenapa harus cari jalan yang susah dan makan biaya.... Berjiwa Besarlah jika memang salah dan minta maaf sama PRITA... saya kira itu perbuatan yang gentleman dan bijaksana dan semuanya selesai tanpa efek besar seperti sekarang ini... tentunya bikin pusing... menyita waktu... biaya.. tenaga... capek... malu... untuk apa semua itu ditempuh dengan susah-susah.. dan hasilnya kemungkinan besar justru pamornya jadi anjlok... sia-sia...
Demikian..
Terimakasih
Rahmat-Karawang
Definisi pelaku usaha di UU No. 8 tahun 1999 tentang Praktek Kesehatan: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Rumah Sakit Omni Internatioonal Alam Sutera (RS OIAS) adalah pelaku usaha karena berbentuk badan hukum, melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah negara RI yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi, yaitu kesehatan. Dalam hal munculnya kasus di mana konsumen (Prita) tidak dapat memperoleh hasil rekam mediknya, RS OIAS melanggar kewajibannya sebagai pelaku usaha seperti yang dikatakan pada Pasal 7 huruf b UU No. 8/1999, yaitu “Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
Konsekuensi RS OIAS dalam kasus ini karena tidak memberikan informasi medis (hasil laboratorium) yang benar pada Prita sehingga berakibat Prita mendapatkan penanganan medis yang salah, yaitu penangan medis untuk demam berdarah padahal Prita tidak sakit demam berdarah, maka RS OIAS patut diduga melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a UU No. 8 tahun 1999.
Pasal 8 UU No. 8 ayat (1) huruf a tahun 1999 berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan”.
Karena melanggar Pasal 8 ini, maka sebagai pelaku usaha penjual jasa RS OIAS dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 61 dan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun bunyi Pasal 61 adalah: “Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya”. Sedangkan Pasal 62 Ayat (1) berbunyi: “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (10 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 M (2 milyar rupiah)”.
Bagaimana mungkin konsumen telah membayar biaya pengobatan seperti yang disodorkan oleh RS OIAS sebagai kompensasi pengobatan kepada konsumen yang pada kenyataannya ada kesalahan laboratorium dan tindakan yang diambil, tidak boleh protes atau berkeluh kesah kepada sesama? Yang kemudian pihak RS OIAS lalu menuntut konsumen yang patut diduga mereka rugikan? Hebat sekali RS OIAS itu.
Kesalahan rekam medik dan penanganan medik sudah sering terjadi di berbagai RS bertaraf International di Indonesia. Namanya saja International tetapi tidak jelas apa yang dimaksud dengan International. Tidak ada dasar hukumnya yang jelas sebuah RS boleh asal pakai kata International. Apa karena bangunannya bagus, berpendingin udara, ada restoran, ada fasilitas pijat refleksi dan pijat lainnya terus boleh menyandang International? Siapa di Departemen Kesehatan yang berwenang memberi kata International dan mengauditnya setiap tahun? Tak jelas itu.
Apa Yang Harus Dilakukan Prita
Untuk itu selain melanjutkan persidangan yang sedang berjalan, saya menyarankan kepada team penasihat hukum Prita untuk menuntut balik RS OIAS tentunya beserta para dokter yang menangani Prita dengan menggunakan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menang atau kalah tinggal kepiawaian para pengacara yang membela Prita di muka hakim.
Pelajaran bagi sebuah RS dan para korps kedokteran, jika memang terjadi kesalahan lakukan permintaan maaf dan segera ditindaklanjuti dengan penanganan yang baik tanpa membebankan lagi biaya kepada konsumen. Ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (1): “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.