tidak bisa bawa motor, kondisi jalannya tanjakan, pegununganGarut (ANTARA) - Seorang guru honorer SD Negeri 3 Nyalindung, Rosita Amelia di Kecamatan Cisewu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menggelorakan semangat juang RA Kartini dengan mendatangi setiap rumah murid yang tinggal di pelosok untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar di tengah darurat wabah COVID-19 di Garut.
"Ibu Kartini itu inspirasi saya, seorang ibu itu banyak jasanya bukan untuk mengurus anak, tapi juga mendidik anak," kata Rosita Amelia saat dihubungi melalui telepon seluler di Garut, Selasa.
Rosita salah seorang guru kelas 2 SD Negeri Nyalindung, Kecamatan Cisewu itu bangga terhadap sosok perempuan Kartini, untuk itu semangatnya diterapkan dengan menjadi guru untuk mendidik anak menjadi generasi bangsa yang lebih baik.
Perempuan berusia 31 tahun itu berinisiatif mengajar muridnya yang tidak memiliki alat komunikasi berupa telepon genggam model android untuk menunjang kegiatan belajar mengajar seperti yang dilakukan siswa di perkotaan.
"Saya mendatangi rumah siswa karena tidak semua orangtuanya punya (ekonomi mampu), kalau pun punya android sinyalnya jelek, jadi sistem belajarnya tidak bisa disamakan seperti di kota," kata Rosita.
Ia menceritakan, semangat mengajarnya itu sudah dilakukan sejak ditetapkannya darurat COVID-19 yang menerapkan seluruh siswa belajar di rumah dengan tetap mendapatkan pengawasan guru di sekolah.
Namun keterbatasan alat komunikasi di pelosok Garut, kata Rosita, menjadi kendala mengawasi siswa belajar dengan sistem jarak jauh, untuk itu harus mendatangi rumah siswa masing-masing.
"Dalam suasana COVID-19 semua sekolah oleh pemerintah diinstruksikan untuk belajar di rumah, saya merasa tertantang karena siswa siswi Nyalindung 3 ada di pelosok yang susah dari jangkauan internet," kata ibu dua anak itu.
Baca juga: Astari Pranindya, dokter perempuan dalam pusaran pandemi
Baca juga: Kowani : Perempuan paling terdampak COVID-19
Rosita bersama guru lainnya mengaku dalam semangat mengajarnya itu seringkali tidak berjalan mulus, kondisi akses jalan yang rusak, ancaman bencana tanah longsor dan jarak tempuh yang jauh menjadi kendala setiap mendatangi rumah siswa.
Perempuan berhijab itu mengaku jarak yang harus ditempuh menuju rumah siswanya bisa lebih dari satu jam menggunakan sepeda motor, bahkan ada rumah siswa yang tidak bisa dilintasi kendaraan roda dua sehingga harus berjalan kaki.
"Ada siswa paling jauh perjalanannya bisa satu jam, ada yang harus jalan kaki, tidak bisa bawa motor, kondisi jalannya juga tanjakan, pegunungan, jalannya kadang belum beraspal, semuanya masih tanah, terus lagi musim hujan suka longsor," katanya.
Namun perjuangannya itu, kata Rosita, terbayarkan dengan antusias siswa yang senang didatangi langsung oleh guru dan belajar di rumah meski perlengkapan belajar seadanya.
Setiap hari dengan kondisi cuaca yang cerah, kata dia, mampu mendatangi dua sampai tiga rumah siswa, selanjutnya mengunjungi rumah siswa di hari berikutnya dengan jarak rumah yang sama-sama jauh.
"Dalam sehari saya bisa mendatangi dua sampai tiga anak, tergantung situasi, kondisi dan cuaca, karena siswa satu dengan siswa lain jaraknya sama jauh," kata guru lulusan Tarbiyah Universitas Yayasan Miftahussalam, Bandung itu.
Ia mengungkapkan, proses belajar mengajar di pelosok Garut itu memiliki tantangan dan pengalaman tersendiri, termasuk dapat mengetahui langsung kondisi rumah siswa, juga perjuangan siswa saat berangkat maupun pulang sekolah yang ditempuhnya dengan berjalan kaki.
Kondisi sekolah yang masih memprihatinkan itu, Rosita berharap kepada pemerintah untuk memperhatikan akses sekolah, termasuk kondisi bangunan agar siswa dapat belajar dengan nyaman dan aman.
"Harapan saya semoga pemerintah memperhatikan daerah seperti kami pak, daerah terpencil tentang fasilitas yang memadai, bangunan yang memadai," kata wanita kelahiran Garut 1989 itu.
Baca juga: Seorang ibu berkendara Vespa berbagi masker peringati Hari Kartini
Pewarta: Feri Purnama
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020