membangun kesadaran tentang adanya ketimpangan yang mereka alami
Jakarta (ANTARA) - Perempuan di era modernisasi saat ini memiliki peran yang multifungsi dalam perubahan dinamika kehidupan dan zaman.
Perempuan tidak hanya mampu memerankan fungsi sesuai kodratnya sebagai seorang istri bagi suami, sebagai ibu bagi anak-anaknya, tetapi juga memainkan peran penting dalam kemajuan teknologi dan di berbagai sendi kehidupan lainnya.
Kemampuan yang multifungsi itu diperoleh seiring dengan kesadaran mereka tentang pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk memperkaya wawasan dan meningkatkan keterampilan.
Namun demikian, meski multifungsi peran perempuan mampu mensejajarkan mereka setara dengan laki-laki, pandangan masyarakat yang masih menempatkan mereka di bawah laki-laki dan dianggap sebagai peran pembantu masih kerap membatasi upaya mereka untuk mengembangkan diri lebih jauh ke depan.
Pandangan patriarki masyarakat, yang mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan, terutama dialami oleh perempuan-perempuan yang hidup di pedesaan, salah satunya perempuan di desa-desa gambut.
Dalam upaya pencegahan dan mitigasi kebakaran hutan dan lahan misalnya, perempuan, menurut analis gender Asti Indirastuti, kerap tidak diikutsertakan karena upaya tersebut dianggap membutuhkan peran yang sangat maskulin.
Pada kenyataannya, dalam upaya pencegahan dan mitigasi tersebut perempuan sangat terlibat di dalamnya, terutama ketika terjadi kebakaran di permukiman tempatnya tinggal dan mencari penghidupan.
Di tengah tidak adanya kesempatan yang sama untuk mengakses pengetahuan dan berbagai sumber yang ada dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran, perempuan juga sering menjadi korban karena harus terjun ke lapangan tanpa dibekali pengetahuan dan alat pelindung diri yang memadai.
"Kalau dari cerita, mereka turut memadamkan kebakaran dengan ember, dengan apapun yang bisa diangkat. Mereka enggak pakai masker, sebaliknya memakai kerudung untuk menutupi (hidung dari kepulan asap)," katanya.
Kemudian, ketika perempuan mencari sumber-sumber penghidupan bagi diri dan keluarganya, masyarakat masih beranggapan usaha yang dilakukannya sekadar untuk mencari tambahan penghasilan rumah tangga.
Padahal, banyak keluarga yang mengandalkan jerih payah perempuan tersebut sebagai penghasilan utama keluarga tersebut.
"Misalnya pengayam rotan di Desa Buntoi, Kalimantan Tengah. Orang mengatakan yang utama adalah karet. Karet dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Pada kenyataannya, yang memberikan penghasilan setiap minggu adalah anyaman rotan yang dilakukan oleh perempuan, mulai dari mencari bahan baku, persiapan sampai menjadi anyaman semuanya dilakukan perempuan, dan itu (penghasilannya) pasti setiap minggu," katanya.
Sama halnya dengan pengelolaan tanaman purun di Kalimantan Selatan. Cara masyarakat memposisikan kerja perempuan sebagai kerajinan tambahan yang dikerjakan di luar waktu utama membuat akses dan kendali yang masyarakat berikan kepada perempuan menjadi lebih sedikit karena kegiatan yang dilakukannya tidak dianggap sebagai kegiatan utama yang bisa dilakukan laki-laki.
"Padahal sama pentingnya," katanya menekankan.
Sering kali, masyarakat melupakan fakta bahwa posisi perempuan pada hakikatnya sama dengan laki-laki dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.
"Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, ada juga perempuan-perempuan yang menggarap lahan-lahan yang punya risiko tinggi untuk terjadi kebakaran hutan dan lahan secara langsung," katanya.
Untuk itu, melalui pemetaan sosial yang dilakukan dalam program desa peduli gambut (DPG), Badan Restorasi Gambut (BRG) ingin mencoba mengidentifikasi kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
"Pemetaan ini untuk membangun kesadaran mereka tentang adanya ketimpangan yang mereka alami dan mencoba membangun kekuatan perempuan untuk punya suara di desa dengan kesadaran yang dibangun tentang pentingnya gambut," katanya.
Sementara itu, peneliti dari Australian National University (ANU) Dr. Daju Resosudarmo juga menegaskan pentingnya peran perempuan dalam menopang ekonomi keluarga di tengah larangan membakar gambut sebagai upaya untuk merestorasi lahan.
"Banyak studi menunjukkan bahwa perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, itu tergantung penghidupannya secara langsung maupun tidak langsung pada hutan. Dan banyak penelitian juga yang menunjukkan bagaimana perempuan berperan dalam pengelolaan SDA secara berkesinambungan," katanya.
Kebijakan larangan membakar lahan gambut secara langsung diakui memang mengganggu perekonomian warga yang sumber penghidupannya berada di sektor pertanian, seperti menanam padi.
"Mereka tidak bisa menanam padi, karena di lahan gambut, lahan gambut tipis terutama, lahan harus dibakar untuk kesuburan padi. Abu-abu dari rumput-rumput yang dibakar membuat padi menjadi subur. Tanpa abu itu padi tidak akan bertumbuh baik dan hasilnya kurang," katanya.
Oleh karena itu, larangan membakar lahan gambut tentunya semakin menyulitkan warga yang sumber penghidupannya dengan bertanam padi.
Hal tersebut mendorong masyarakat di sekitar lahan gambut untuk mencari alternatif lain guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di tengah keterbatasan ekonomi dan kebutuhan untuk membeli beras dan kebutuhan lain, banyak di antara kepala rumah tangga di wilayah tersebut yang kemudian mencari pekerjaan di perkotaan, sehingga meninggalkan beban baru terhadap keluarga yang ditinggalkan.
Perempuan, terutama para ibu, memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari saat laki-laki harus mencari pekerjaan di tempat lain dan tidak memiliki penghasilan pasti.
"Selain bergulat dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena penghasilan suami yang mencari pekerjaan di luar tidak pasti dan tidak menentu waktunya, peran laki-laki di kebun juga dijalankan oleh perempuan yang ditinggalkan," katanya.
Selain itu, di tengah ketiadaan laki-laki karena harus bekerja di tempat lain, perempuan juga memiliki tanggung jawab baru untuk memadamkan kebakaran hutan di kebun karet mereka pada saat terjadi kebakaran hutan dan lahan.
"Jadi istilahnya kata ibu-ibu, mereka ini selain jadi ibu-ibu juga menjadi bapak-bapak," katanya.
Kemudian, ia juga mengatakan bahwa perempuan memiliki peran penunjang aktif dalam mitigasi kebakaran hutan dan lahan gambut.
"Mungkin mereka sering kali tidak ikut serta langsung sebagai anggota masyarakat peduli api (MPA), tetapi mereka bertanggung jawab dan berjibaku untuk mengatur konsumsi dan keuangan sehingga anggota MPA betul-betul melaksanakan tugasnya," katanya.
Adanya partisipasi aktif perempuan dalam pengurusan konsumsi secara langsung itu mendukung keberlangsungan pelaksanaan kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan.
"Jadi pengaturan konsumsi itu walaupun kelihatannya ringan, tapi kalau tidak ada yang bisa melakukan ini, maka kegiatan MPA juga tidak bisa dilakukan," ujar dia.
"Jadi walaupun di belakang layar, tetapi sebetulnya menurut saya, (peran mereka) critical, penting, karena tidak mudah untuk mengatur sekian, uangnya cuma sekian, harus bisa sekian lama dan sekian orang," katanya lebih lanjut.
Sementara itu, menurut Deputi 3 Badan Restorasi Gambut Dr. Myrna A. Safitri, dalam upaya melibatkan perempuan di dalam kegiatan restorasi gambut, ia menilai bahwa perempuan juga memberikan kontribusi cukup besar di dalam upaya pelestarian tersebut.
Misalnya di dalam kegiatan desa peduli gambut (DPG), partisipasi perempuan, menurut dia, cukup aktif di dalam pelaksanaan kegiatan itu, mulai dari perencanaan desa, pemetaan partisipatif hingga penyusunan peraturan desa (Perdes).
Selanjutnya, di dalam kegiatan sekolah lapang dan pengelolaan kebun atau demplot, perempuan juga dinilai memberikan respons yang sangat positif.
"Sejak akhir 2017 kami intensif menyelenggarakan sekolah lapang, di mana kami mewajibkan perempuan untuk terlibat menjadi peserta sekaligus kader sekolah lapang. Dan ketika mereka kembali ke desa, mereka kemudian langsung membuat demplot-demplot untuk melakukan pertanian tanpa membakar dan juga pertanian tanpa menggunakan pupuk atau pestisida kimia," katanya.
Baca juga: Institut Sarinah: Keuletan "Kartini" jadi modal sosial atasi corona
Tantangan
Meski partisipasi perempuan dalam program desa peduli gambut dan sekolah lapang dinilai cukup aktif, namun Myrna masih menemukan sejumlah tantangan dalam partisipasi tersebut.
Tantangan pertamanya adalah dia mengakui bahwa partisipasi tersebut masih banyak bersifat prosedural.
"Jadi meskipun kebijakan sudah ada, tetapi tetap saja gap-gap di lapangan itu muncul. Jadi pelibatan perempuan yang hakiki itu memang masih harus diupayakan lebih kuat lagi," katanya.
Kemudian, tantangan selanjutnya yang ia temui dalam pelibatan perempuan adalah adanya kemiripan kultur antara birokrasi dengan masyarakat.
"Yang saya sebut penyelenggara kegiatan itu adalah mulai pihak ketiga yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur pembebasan gambut, kemudian kelompok masyarakat dan lain-lain. (Penyelenggara kegiatan) dengan masyarakat desa itu mempunyai kesamaan kultur di dalam menilai tentang perempuan," katanya.
Nilai-nilai patriarki diakuinya masih ada dan melekat kuat di dalam birokrasi dan juga di dalam masyarakat.
Selanjutnya, ia melihat persoalan relasi kuasa juga menjadi persoalan yang sangat penting di dalam pelibatan tersebut.
"Kenapa perempuan meskipun diberi kesempatan tidak semua bisa mengakses? Karena memang struktur sosial yang ada tidak memungkinkan mereka dengan mudah mengakses itu," katanya.
Baca juga: Menebarkan semangat Kartini dari ruang isolasi
Sementara itu, Dinamisator Program Desa Peduli Gambut (DPG) Kalimantan Selatan Enik Maslahah mengatakan bahwa di tengah tantangan pandemi COVID-19 yang merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia, para perempuan di wilayahnya justru semakin menunjukkan kontribusi besar mereka terhadap penanganan wabah tersebut.
Dalam upaya mencegah penyebaran wabah COVID-19 itu, para perempuan di sana membuat ribuan masker secara serentak yang akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di desa-desa meski di tengah keterbatasan ruang gerak.
"Dengan adanya COVID-19 ini, mereka, kelompok-kelompok (perempuan di desa-desa) ini justru membuat masker," tuturnya.
Pembuatan masker tersebut dilakukan baik secara swadaya maupun bekerja sama dengan kantor desa dengan menggunakan dana desa.
Dalam pembuatan masker tersebut, kelompok-kelompok perempuan di desa gambut tersebut memanfaatkan mesin jahit dari bantuan Badan Restorasi Gambut (BRG) dan juga Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.
Pembuatan 12.500 masker yang tengah diupayakan pada pekan ini dibagi ke dalam lima kelompok dengan masing-masing kelompoknya membuat sekitar 2.500 masker.
"Nah, lima kelompok ini ada satu kelompok yang terdiri dari dua desa, ada yang satu desa, tergantung dengan alat produksi yang mereka punya," katanya.
Setelah selesai dibuat, 12.500 masker tersebut akan disebarkan ke seluruh desa itu sendiri, desa sekitar dan juga desa gambut lain yang kekurangan karena keterbatasan mesin jahit.
"Jadi mereka ini sangat aktif. Meskipun mereka dari kelompok marginal, tetapi mereka tetap melakukan apa yang mereka bisa untuk mencegah penularan virus COVID-19 ini," katanya.
Perempuan-perempuan di masa kini maupun di masa sebelumnya sejatinya telah memberikan kontribusi yang begitu besar bagi bangsa ini.
Kontribusi tersebut selayaknya perlu didukung dan diperkuat sehingga sumbangsih mereka di masa mendatang dapat lebih optimal dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Perawat di Kendari titip "buah hati" demi merawat pasien COVID-19
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020