Jakarta (ANTARA News) - DPR RI menyatakan, pemerintah tidak perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena ada tekad kuat bahwa RUU tersebut dapat segera dituntaskan DPR.

Demikian disampaikan ketua DPR RI Agung Laksono dalam Press Gathering Wartawan DPR di Lembang Bandung (Jawa Barat) yang berlangsung Sabtu (6/6) hingga Minggu. Selain Agung, hadir pula Sekjen DPR Nining Indra Saleh dan Sekjen Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Agung mengemukakan, sampai saat ini DPR memang masih memiliki kewajiban untuk menyelesaian berbagai UU. Dari 284 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), DPR baru menyelesaikan 164 RUU atau sekitar 58 persen.

Sebelum masa bhaktinya berakhir pada 1 Oktober 2009, DPR akan menuntaskan sejumlah UU, termasuk RUU tentang Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, DPRD dan MPR, RUU Kesehatan, RUU Narkotika, Peradilan Militer, Perkembangan kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, RUU Mata uang dan RUU tentang Pelayanan Publik.

Sedangkan mengenai RUU tentang pengadilan Tipikor yang harus sudah tuntas sebelum 19 Desember 2009 sesuai perintah Mahkamah Konstitusi (MK) tiga tahun lalu, akan segera dituntaskan DPR.

"DPR bertekad untuk dapat menyelesaikannya. Dalam arti tidak perlu dikeluarkan Perppu," kata Agung.

Menurut Agung, DPR sebenarnya tidak lamban membahas RUU ini. Seharusnya penilaian terhadap proses penyelesaian RUU ini tidak saja ke DPR tetapi juga ke pemerintah karena setiap UU dibahas bersama pemerintah.

Agung mengatakan, MK memang memerintah pemerintah dan DPR agar menyusun RUU penagdilan Tipikor sejak tiga tahun lalu, tetapi pemerintah baru mengajukan draft RUU ini ke DPR pada Oktober 2008.

Ketika DPR mulai membahas RUU ini, ada surat dari pemerintah yang berisi sejumlah revisi dan hal-hal yang perlu dimasukkan dalam draft RUU tersebut. Hal ini berpengaruh terhadap proses pembahasan RUU di DPR.

Agung juga mengatakan, selain fokus kepada kuantitas, segi kualiats harus diperhatikan. "DPR tidak ingin UU yang dihasilkan diajukan ke MK untuk dilakukan `judicial review`," katanya.

Pada bagian lain, Agung Laksono mengakui masih banyak kekurangan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kinerja Dewan. Publik juga perlu diberi ruang lebih luas untuk mengontrol kinerja DPR, termasuk dalam pembahasan RUU.

Pembahasan RUU harus semakin banyak dilakukan secara terbuka dan transparan. Selama ini berdasarkan tata Tertib DPR persidangan di DPR banyak dilakukan secara tertutup, kecuali atas keputsuan pimpinan rapat bisa dilakukan secara terbuka.

"Ke depan, saya usulkan, dibalik. yaitu persidangan dilakukan secara terbuka, ekcuali atas keputsuan pimpinan, sidang dilakukan secara tertutup. Tetapi untuk mewujudkan gagasan ini harus diubahkan dudu Tatibnya," kata Agung.

Dia berharap, pemerintah juga merespon langkah DPR menuntaskan UU dengan segera menerbitkan peraturan pemerintah. "Banyak produk UU yang disahkan tidak bisa dilaksanakan karena PP-nya belum diterbitkan pemerintah. Sementara DPR kurang mendesak pemerintah melakukan itu," katanya.

Agung pun menjelaskan ada sekitar 500 PP yang sampai saat ini belum diterbitkan pemerintah padahal UU-nya ada yang sudah berusia 10-15 tahun. bahkan ada UU yang belum ada PP-nya, tetapi UU tersebut sudah memerlukan revisi.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009