Hal itu tiba-tiba saja disampaikan Menhut saat berdialog dengan sejumlah pejabat dari Kementrian Kehutanan Jepang wilayah Kanto di kota Ashio, Jepang, Sabtu.
Rombongan menteri kehutanan Indonesia berada di Jepang selama tiga hari guna bertukar pengalaman mengenai berbagai upaya melestarikan hutan, termasuk rehabilitasi hutan yang rusak akibat kegiatan penambangan.
"Pengalaman dari Jepang ini membuat saya semakin serius dalam memperketat pengawasan yang mewajibkan para pemegang konsesi hutan melakukan reboisasi. Kalau perlu cabut ijin konsesinya bagi yang tidak memperhatikan reboisasi," kata tokoh dari partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Komentar itu tercetus usai mendengar penjelasan dari Dirjen Kehutanan Kementrian Kehutanan Jepang untuk Wilayah Kanto, Hiroyuki Kobayashi, yang menceritakan upaya pemerintahnya dalam mengawasi secara ketat kegiatan rakyat (pengusaha, red) yang diberi akses untuk mengelola hutan.
"Pemerintah Jepang memang memberikan akses bagi rakyatnya untuk ikut mengelola hutan, namun ijin yang diberikan itu tidak bisa sembarangan digunakan," kata Kobayashi yang mengakui masih tetap ada penebangan liar di Jepang walau sedikit jumlahnya.
Setelah itu berbagai topik pun meluncur dengan cepat mulai dari syarat penentuan status hutan lindung, jenis-jenis hutan yang bisa dikelola sebagai industri di Jepang, kegiatan penebangan liar, hingga ketersediaan peta kehutanan yang akurat.
MS Kaban mengatakan, tukar pengalaman ini perlu guna mencari kesamaan pandang dalam meningkatkan kualitas pelestarian hutan serta membangun sinergi dalam melaksanakan strategi konservasi hutan secara global di antara sesama negara-negara di dunia.
Rombongan pejabat kehutanan Indonesia terlihat begitu tertarik dengan keakuratan peta kehutanan yang dimiliki Jepang. Peta keutanan Jepang diakui pejabatnya sangat detail sehingga tidak memiliki perbedaan sama sekali antara peta hutan nasional dan peta hutan milik pemerintah daerahnya.
Restorasi Hutan
Menhut bersama rombongan kecil pejabat kementrian kehutanan Jepang Sabtu pagi sempat meninjau kawasan hutan di Ashio yang mengalami kerusakan hebat ratusan tahun lalu akibat kegiatan penambangan tembaga besar-besaran.
Kawasan tersebut kini mulai hijau kembali, bahkan sebagian telah menjadi objek wisata alam, berkat proyek restorasi hutan yang dilakukan sejak 50 tahun yang lampau, guna menghilangkan dampak kerusakaan yang masih terasa akibatnya hingga kini.
Sejak ditemukannya tembaga pada masa Restorasi Meiji (1610), maka muncullah kegiatan penambangan besar-besaran sejalan dengan semangat moderninasi Jepang yang sedang menggelora waktu itu.
Namun, akibat yang ditimbulkan sangat parah. Kawasan hutan seluas 2.400 hektare tersebut menjadi longsor dan timbul hujan asam sulfat yang mematikan tanah sehingga menyebakan hutan tandus.
Melihat dampak yang sangat mengerikan tersebut pemerintah pun tidak tinggal diam. Sejak 1956 upaya rehabilitasi hutan pun digalakkan, bahkan sejak tahun 1973 pemerintah Jepang menghentikan operasi penambangan dan melakukan reboisasi hutan besar-besaran, baik dilakukan secara manual maupun lewat udara.
Kawasan seluas 2.400 hektare itu ditebari pupuk dan tanah dari udara dnegan menggunakan helikopter selama bertahun-tahun, sementara para sukarelawannya juga mendaki gunung untuk menanami pohon. 50 tahun lebih hasilnya baru mulai terlihat, kawasan tersebut mulai hijau kembali, walau belum sepenuhnya menjadi hutan kembali.
"Ini bukti bahwa kegiatan rehabilitasi hutan bukan seperti sulap, tetapi butuh waktu yang panjang, dan komitmen yang kuat serta kebijakan konsisten," kata MS Kaban yang dikenal lewat kebijakan pemberantasan illegal logging nya.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009