Jakarta (ANTARA News) - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi manusia Indonesia (PBHI) Samsuddin Radjab, menyatakan jaksa penuntut umum telah salah menafsirkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kasus pencemaran baik yang dituduhkan kepada Prita Mulyasari.

"Jaksa penuntut telah salah menafsirkan UU tersebut karena yang patut dituntut atas tuduhan pencemaran nama baik adalah orang yang menghina martabat orang lain bukannya sebuah lembaga atau institusi," katanya di Jakarta, Jumat.

Oleh karena itu, Samsuddin mencurigai jaksa memang memihak penggugat karena telah menambahkan UU ITE pasal 27 ayat 3 terhadap Prita, padahal dia tidak dikenai pasal itu saat diperiksa polisi.

"Kejaksaan Agung harus melakukan pemeriksaan terhadap jaksa tersebut, harus dibuktikan apakah dia memiliki motif transaksional dengan pihak penggugat atau tidak," katanya.

Prita Mulyasari, ibu dua anak balita ditahan Kejaksaan Negeri Tangerang, Banten, atas tuduhan pencemaran nama baik dari Rumah Sakit Omni International yang merasa namanya tercemar akibat surat elektronik Prita mengenai keluhan pelayanan rumah sakit itu.

Prita lalu diancam pasal berlapis, yaitu 310 dan 311 Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) dan UU ITE Pasal 27 Ayat 3 dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda sebanyak satu milyar rupiah.

Prita kalah di pengadilan dan harus membayar ganti rugi kepada rumah sakit sebanyak 300juta rupiah dan ganti rugi imateril 50juta rupiah kepada dua dokter yang menanganinya ketika berobat di sana.

Sementara itu, anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, menilai keluhan Prita dilindungi UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan konsumen berhak mengutarakan aduan dan keluhan. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009