Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Republik Indonesia memutuskan langkah untuk mencegah penularan virus corona penyebab COVID-19 adalah pembatasan pergerakan manusia melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan bepergian antardaerah dengan mengimbau masyarakat menunda mudik pada musim Lebaran 2020.
Wilayah yang pertama kali menerapkan PSBB adalah Provinsi DKI Jakarta yang bisa dibilang sudah menjadi episentrum virus COVID-19 di Indonesia dengan jumlah kasus paling banyak. PSBB DKI kemudian diikuti oleh beberapa kabupaten-kota penyangga DKI, seperti Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten dan Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan yang penduduknya hilir mudik setiap hari ke wilayah ibu kota.
Sejak PSBB secara resmi diberlakukan di DKI Jakarta pada 10 April 2020, Kabupaten-Kota di Bogor-Depok-Bekasi diberlakukan pada 15 Maret, dan Kabupaten-Kota Tangerang-Tangerang Selatan berlaku 18 Maret 2020, hingga kini masih ada saja masyarakat dan para pelaku usaha yang belum mengikuti ketentuan PSBB dengan benar.
Pada Senin 13 Maret 2020, penumpang di Stasiun Bogor dan di dalam KRL membeludak tanpa mengingat lagi apa itu pembatasan jarak fisik sebagai langkah pencegahan virus corona.
Baca juga: Menko PMK kembali ajak masyarakat tunda mudik Lebaran 2020
Baca juga: Jubir pemerintah harap masyarakat tunda mudik karena COVID-19
Para pelaku usaha di bidang yang tak dikecualikan tetap beroperasi di masa PSBB dan masih meminta karyawannya pergi bekerja, sehingga penumpang KRL pun tetap ramai. Unit usaha yang tidak menjual bahan pokok atau kebutuhan sehari-hari, seperti toko elektronik dan furnitur juga masih banyak yang beroperasi.
Di pasar atau pun toko swalayan, warga sudah meningkatkan kesadarannya dengan menggunakan masker, namun masih belum mematuhi batas jarak fisik yang aman. Di lingkungan pemukiman juga masih ditemukan warga yang berkumpul dan bercengkerama antartetangga.
Beberapa jalan atau gang di pemukiman atau perumahan penduduk juga sudah banyak yang menutup akses jalan dengan menutup portal. Tidak sedikit yang menutup portal dengan disertai spanduk bertuliskan "lockdown lokal". Akan tetapi, prinsip pembatasan sosial tersebut tidak diterapkan dengan benar, dengan warga yang berkumpul lebih dari lima orang menjaga portal tersebut sambil minum kopi dan bercengkerama.
Sejumlah pakar menilai bahwa dibutuhkan ketegasan,baik oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam menegakkan PSBB agar berjalan sesuai yang diharapkan. Pemerintah diminta bertindak secara tegas kepada pihak-pihak yang tidak menaati ketentuan sebagaimana diatur dalam PSBB.
Baca juga: Akademisi UGM: PSBB harus dimulai dari RT/RW
Baca juga: UGM kembangkan sistem pelacak kasus COVID-19
Sementara pada level dunia usaha didisiplinkan dengan ketegasan pemerintah menindak pihak yang tidak mematuhi PSBB, di level masyarakat paling bawah perlu didorong dengan mengedepankan gotong royong mulai dari RT/RW.
Anggota Tim Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Supriyati menilai bahwa potensi keberhasilan penerapan PSBB bisa menjadi besar jika kebijakan tersebut diterapkan dari level paling bawah.
Menurut Supriyati, Gugus Tugas Penanganan COVID-19 perlu dibentuk dalam level RT/RW dan juga kelurahan atau desa untuk mengawasi dan memantau pergerakan setiap warganya.
Gugus Tugas COVID-19 di level RT/RW berperan untuk memantau kondisi kesehatan tiap warganya, promosi dan sosialisasi tentang upaya pencegahan penularan virus, dan bersama-sama memantau serta mendukung apabila ada warga yang harus melakukan karantina mandiri di rumah.
Gugus Tugas RT/RW tersebut bisa mendata warga yang terdampak ekonominya akibat pandemi COVID-19 dan memberikannya bantuan secara bergotong royong.
Selain itu juga berperan dalam memberikan dukungan dan bantuan bagi warga yang melakukan karantina mandiri bilamana membutuhkan keperluan sehari-hari. Stigma negatif dan penolakan terhadap warga yang positif COVID-19 hanya akan memperburuk keadaan.
Baca juga: Guru Besar UGM prediksikan wabah COVID-19 berakhir Mei 2020
Tunda Mudik
Pergerakan masyarakat dari wilayah yang sudah terjangkit COVID-19 seperti Jabodetabek ke wilayah yang belum terdeteksi kasus positif bisa menyebabkan kian meluasnya persebaran virus corona di Indonesia. Oleh karena itu, tradisi mudik Lebaran yang membuat pergerakan penduduk dalam jumlah besar dalam periode waktu tertentu dari kota ke desa bisa berakibat fatal.
Orang yang mudik bisa membawa virus dari kota yang sudah menjadi episentrum ke desa yang masih belum terjadi kasus positif, apabila hal itu terjadi, yang dikhawatirkan adalah peningkatan kasus positif di desa bisa berdampak buruk dimana sistem dan fasilitas kesehatan di daerah tidak siap akan hal tersebut.
Berdasarkan data hasil survei Katadata Insight Center (KIC) pada 2.437 responden di 34 provinsi, sebagian besar responden atau 63 persen menyatakan tidak akan mudik, 21 persen belum mengambil keputusan untuk mudik, 12 persen akan tetap mudik, dan 4 persen sudah pulang kampung lebih dulu.
Baca juga: Sepekan Jakarta, penerapan PSBB hingga kabar dari Wisma Atlet
Meskipun persentase masyarakat yang memilih tetap mudik sebesar 12 persen, bila mengacu pada jumlah pemudik tahun lalu yang mencapai 18,3 juta orang, maka 12 persen jumlah pemudik tahun ini bisa mencapai 2 juta orang lebih.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa pemudik asal Jakarta paling banyak tujuannya ke Jawa Tengah (35 persen), Jawa Barat (18,3 persen), dan Jawa Timur (11,7 persen). Sementara itu, pemudik asal Jawa Barat terbanyak menuju ke Jawa Tengah dan kabupaten-kota lain di Jawa Barat. Sedangkan pemudik dari Jawa Tengah cenderung mudik antarkabupaten-kota di provinsi tersebut.
“Pemerintah pusat dan daerah perlu memberi perhatian pada daerah-daerah tujuan mudik ini,” kata Direktur Riset Katadata Insight Center Mulya Amri.
Baca juga: Politik kemarin, Presiden larang mudik hingga Satgas COVID-19 DPR
Mulya memberikan penekanan tersebut dikarenakan pada riset KIC sebelumnya tentang Indeks kerentanan provinsi terhadap COVID-19, Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur termasuk provinsi yang sangat rentan bila terjadi peningkatan kasus COVID-19, karena memiliki kapasitas layanan kesehatan yang terbatas.
Jarak perjalanan yang jauh dengan memakan waktu tempuh yang cukup lama, disertai dengan berkumpulnya banyak orang pada suatu waktu tertentu di tempat umum sangat berisiko terjadi penularan.
Menurut Supriyati, tradisi mudik Lebaran bisa menjadi gelombang kedua peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia yang terjadi di daerah-daerah apabila tidak ditangani dengan serius.
Sejauh ini pemerintah telah mengimbau masyarakat untuk menunda mudik Lebaran 2020 guna mencegah penularan COVID-19 terjadi lebih luas. Pelarangan untuk tidak mudik secara tegas diterapkan bagi ASN, TNI, dan Polri dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19.
Pemerintah pun telah menggeser hari libur cuti bersama Hari Raya Idul Fitri yang seharusnya tanggal 26-29 Mei menjadi tanggal 28-31 Desember agar masyarakat tidak mudik.
Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Joko Widodo bahwa perang melawan COVID-19 di Indonesia tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah sendirian, melainkan seluruh elemen masyarakat harus secara bersama-sama bergotong royong melawan virus yang berdampak sangat buruk bagi kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Presiden menegaskan bahwa sikap saling bantu dan solidaritas antarsesama adalah sifat bangsa Indonesia, yaitu gotong royong. "Aksi-aksi solidaritas ini adalah penegas sifat dan kebesaran bangsa Indonesia, yakni bangsa gotong royong, bangsa pejuang yang selalu menemukan kekuatan dan solusi lokal di tengah berbagai krisis," tegas Presiden Joko Widodo.
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020