Jakarta (ANTARA) - Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (Permias) di wilayah kampus Michigan State University menggandeng MSU Asian Studies Center dan The American Institute for Indonesian Studies, menggelar seminar berbasis daring tentang sejarah dan kondisi Indonesia dalam menghadapi pandemi.

Dalam keterangan tertulis Permias Nasional yang diterima di Jakarta, Minggu, webinar yang didukung oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Chicago ini mengkaji aspek-aspek pandemi influenza global atau yang biasa disebut Spanish Flu pada 1918 yang melanda pulau Jawa dan lokasi lain di seluruh dunia.

“Webinar ini menjadi krusial karena pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia berdekatan dengan datangnya bulan suci Ramadhan, yang identik dengan mobilitas massal masyarakat ke kampung halamannya,” kata moderator webinar, Whisnu Triwibowo, yang merupakan kandidat doktor di Michigan State University.

Acara yang bertajuk ‘Lessons from the 1918 Influenza Pandemic for the Current COVID-19 Pandemic: A Historical Perspective from Indonesia and Other Countries’ itu menghadirkan seorang peneliti yakni Dr Siddharth Chandra yang merupakan Direktur dari Pusat Studi Asia di Michigan State University.

Analisis data komparatif dari Jawa di Indonesia, India, dan Amerika Serikat, dan negara-negara lain memberikan wawasan tentang kebijakan yang mungkin telah dilakukan untuk menanggulangi dampak masif yang ditimbulkan oleh pandemi ini.

Siddharth menyebutkan ada tiga pelajaran penting yang dapat diambil dari pandemi influenza pada tahun 1918.

Pertama, pemahaman yang baik terkait pola persebaran pandemi sangat menentukan. Arus mobilitas masyarakat yang tinggi dari satu wilayah ke wilayah lainnya dapat turut menyebarkan pandemi virus ke daerah baru.

Kedua, pandemi dapat berevolusi secara berkala. Hal ini menyebabkan penanganan dari pandemi harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan virus, baik secara biologis, perilaku sosial, maupun politik.

“Ketiga, faktor nutrisi dan kepadatan penduduk menjadi hal yang krusial. India dan Indonesia memiliki angka kematian yang tinggi dikarenakan pada tahun 1918 terjadi malnutrisi akibat kurangnya sumber makanan saat itu,” kata Siddharth.

Selain itu, kepadatan penduduk yang tinggi dapat meningkatkan jumlah korban diakibatkan tingginya intensitas masyarakat berkumpul di suatu tempat, seperti pasar-pasar tradisional, sehingga menjadi kondisi yang ideal bagi penyebaran virus.

Berdasarkan penelitiannya, dia pun menyampaikan dua poin rekomendasi yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah perlu membatasi mobilitas masyarakat untuk mencegah penyebaran COVID-19 dan menekan angka kematian agar tidak menjadi lebih besar.

Kedua adalah dengan melakukan pelacakan infeksi, tes massal, pengawasan ketat di seluruh lapisan masyarakat, karantina mandiri, dan membuka kembali aktivitas ekonomi secara bertahap.

“Kedua langkah tersebut harus dilakukan secara intensif untuk menekan jatuhnya korban terinfeksi yang lebih besar,” kata dia.

Lebih dari 160 orang turut mendaftar untuk mengikuti webinar itu, baik dari Indonesia, Amerika Serikat, hingga Brunei Darussalam dan Jerman.

Mereka datang dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, tenaga medis dan praktisi kesehatan masyarakat, pendidik, pengacara, dan jurnalis; serta mewakili institusi pendidikan tinggi, rumah sakit, sekolah, institusi pemerintah (termasuk Kementerian), dan organisasi masyarakat.

Baca juga: Tim COVID-19 Permias sediakan konseling bagi pelajar Indonesia di AS
Baca juga: Permias Nasional tegaskan tidak ada pelajar positif COVID-19

Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020