Jakarta (ANTARA News) - Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) meluncurkan Buku Panduan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang diperuntukkan bagi petugas pengelola dan pemberi informasi di badan publik.
"Buku panduan ini diharapkan bermanfaat bagi calon petugas pengelola informasi publik di berbagai lembaga pemerintah," kata Kepala Badan Informasi Publik Deparemen Komunikasi dan Informatik, Suprawoto, di Jakarta, Rabu, dalam acara peluncuran Buku Panduan KIP.
Ia berharap buku tersebut dapat menjadi salah satu model buku panduan bagi Komisi Informasi yang akan menyusun ketentuan tentang tata cara permintaan informasi publik kepada Badan Publik dan menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik serta menyelesaikan sengketa informasi publik.
Buku tersebut memuat di antaranya tentang esensi UU KIP yang disahkan pada April 2008, komponen penyelenggara UU KIP, hak dan kewajiban pemohon, pengguna informasi publik, dan badan publik, persiapan badan publik, pembiayaan, berbagai jenis informasi, mekanisme permohonan dan pemberian informasi publik, dan sengketa informasi publik.
"Memang UU KIP ini akan sulit dipahami bagi mereka yang tidak turut serta menyusun sejak awal, ini yang perlu mendapat perhatian kita bersama. Dan melalui buku inilah kita harapkan semuanya dapat terkomunikasikan," katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal SKDI (Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi) Depkominfo, Freddy H. Tulung, mengatakan, tidak bisa tidak upaya untuk melakukan sosialisasi UU KIP adalah dengan gerakan kemitraan yang menggandeng berbagai pihak.
"Ada pesan yang besar yakni untuk mewujudkan sebuah transparansi pemerintahan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik. Transparansi dan akubtabilitas inilah yang menunjang perwujudan Good Governance," katanya.
Terbitnya UU KIP memungkinkan setiap badan publik baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara untuk wajib membuka informasinya.
Dengan demikian, tiap warga negara berhak meminta informasi apapun, kecuali informasi yang dikecualikan berdasarkan prinsip "maximum acces limited exemption" yakni keterbukaan yang seluas-luasnya dan pengecualian terbatas.
Permohonan informasi ini mesti dilayani dengan sebaik-baiknya, jika tidak maka sang pemohon boleh mengajukan kekecewaan kemudian mengadukan kekecewaannya dan meminta penyelesaian kepada Komisi Informasi dan akhirnya dapat menggugat ke PTUN atau PN dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak lima juta rupiah.(*)
Oleh
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009