Mataram (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Agung (MA), H Harifin Tumpa, menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2009 untuk mempertegas aturan pemeriksaan pejabat negara yakni kepala daerah, wakil kepala daerah dan anggota DPRD.
Ketua Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Suryanto, SH, MH, di Mataram, Rabu, mengatakan, SE Ketua MA yang ditandatangani pada tanggal 30 April 2009 itu tentang Petunjuk Izin Penyidikan Terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD.
"Isinya mempertegas maksud pasal 36 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah," ujarnya.
Pasal 36 ayat 1 Undang Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004, mengatur tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.
Sementara pasal 36 ayat 2 menegaskan bahwa dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
Agar tidak ditafsirkan secara beragam maka Ketua MA menerbitkan surat edaran untuk mempertegas pasal 36 UU Pemerintahan Daerah itu.
Dalam surat edarannya yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN) di seluruh Indonesia, Ketua MA menegaskan bahwa jika sudah ada surat permintaan izin pemeriksaan dan telah lewat waktu 60 hari, maka izin persetujuan penyelidikan/penyidikan dari presiden menjadi tidak relevan lagi.
Surat edaran Ketua MA itu juga ditembuskan kepada Wakil Ketua MA, Ketua Muda MA, Jaksa Agung, Kapolri dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Itu berarti semua pihak terkait menerima surat edaran Ketua MA untuk dijadikan acuan dalam pemeriksaan pejabat negara seperti kepala daerah, wakil kepala daerah dan anggota DPRD," ujar Suryanto sambil menunjukkan SE Ketua MA itu.
Dengan demikian, SE Ketua MA itu dapat dipedomani oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB dalam penanganan perkara dugaan korupsi yang diduga melibatkan sejumlah pejabat negara.
Seperti diketahui, selama tahun 2008 penyidik Kejati NTB mengajukan permohonan izin pemeriksaan sebagai tersangka terhadap empat orang pejabat negara.
Empat orang pejabat negara itu yakni Gubernur NTB periode 2003-2008, Drs H Lalu Serinata, dua orang anggota DPRD NTB masing-masing Rahmat Hidayat dan Abdul Kahfi serta Walikota Bima, Drs HM Nur Latif.
Serinata, Rahmat Hidayat dan Abdul Kahfi, berstatus tersangka sejak Agustus 2008 terkait dugaan penyalahgunaan dana APBD NTB tahun anggaran 2003 sebesar Rp7,9 miliar dan dana tidak tersangka tahun 2003 sebesar Rp2,5 miliar rupiah.
Saat itu, penyidik Kejati NTB membutuhkan izin presiden untuk memeriksa Serinata sebagai tersangka dan izin Mendagri untuk memeriksa Rahmat Hidayat dan Abdul Kahfi juga sebagai tersangka.
Namun, hingga Serinata mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur NTB terhitung 1 September 2008, surat izin presiden itu belum juga turun sehingga penyidik menunggu sampai Serinata tidak lagi berstatus pejabat negara.
Setelah "pensiun" dari Gubernur NTB, penyidik leluasa memeriksa Serinata sebagai tersangka disertai kebijakan penahanan pada tanggal 27 Oktober 2008.
Kini, berkas perkara Serinata sudah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, dan sidang putusan atas perkara itu dijadwalkan 10 Juni mendatang.
Saat ini pun, penyidik Kejati NTB membutuhkan izin Mendagri untuk memeriksa dua orang anggota DPRD NTB yang belum juga turun hingga akhir April 2009.
Bahkan, akan semakin sulit diperoleh izin pemeriksaan terhadap Rahmat Hidayat, salah seorang tersangka dana APBD NTB tahun 2003 itu jika telah dilantik menjadi anggota DPR karena meraih suara cukup banyak dalam pemilu legislatif, 9 April lalu.
Sementara permohonan izin pemeriksaan Walikota Bima sebagai tersangka juga telah diajukan penyidik Kejati NTB pascapenetapan status tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan terminal AKAP tahun anggaran 2005 dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp9 miliar lebih, sejak Juli 2008.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009