Jakarta (ANTARA News) - Di halaman Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Desa Wates Jaya Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor, belasan pemuda berkaus dan celana biru terlihat serius bersenam.
Hembusan udara pagi Gunung Salak membuat mereka terlihat bersemangat melakukan berbagai gerakan, hingga peluh membasahi badan.
Kegiatan semacam itu dilakukan setiap pagi dan wajib diikuti pasien Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkoba.
"Mereka harus bangun jam 04:00 pagi setiap hari. Bagi yang muslim, mereka wajib salat shubuh, sedangkan yang lain beribadah sesuai dengan agamanya," kata seorang penjaga di unit itu.
Usai ibadah para pasien wajib berolah raga. "Semua pasien wajib mengikuti program yang telah dibuat dan jika ada yang melanggar akan dikenai hukuman," kata penjaga itu.
Sayang penjaga itu tidak mengijinkan penulis untuk masuk ke dalam tempat asrama para pasien itu dengan alasan gedung itu tertutup untuk umum.
"Jangankan tamu, orang tua dan keluarga saja dilarang masuk ke sini. Yang mau ketemu keluarga, disediakan aula di depan sana," katanya.
Dengan nada halus, penjaga itu mempersilakan penulis untuk meninggalkan halaman gedung itu karena lokasi itu masih daerah terbatas.
Lengkap
Gedung yang berdiri di atas lahan seluas dua hektare itu memiliki fasilitas lengkap untuk program terapi dan rehabilitasi.
Bahkan, kompleks bangunan itu sudah tidak bisa layak disebut "unit" yang ada di BNN, sebab bangunannya jauh lebih megah dan luas jika dibandingkan dengan gedung BNN di Cawang, Jakarta Timur.
Kompleks ini lebih pas disebut rumah sakit karena memiliki sarana lengkap untuk penanganan kasus-kasus narkoba.
Bahkan, sarananya lebih lengkap dari rumah sakit karena ada lapangan tenis, futsal, senam dan sarana oleh raga lain, padahal hampir tidak ada rumah sakit yang menyediakan sarana olah raga khusus pasien.
Unit ini juga punya alat musik termasuk kulintang yang dapat dimainkan oleh pasien.
Saat masuk ke dalam kompleks ini, kesan menakutkan sempat muncul karena di kanan dan kiri pintu gerbang diberi kawat berduri yang ditata dengan cara digulung memanjang. Kawat berduri ini mengelilingi pagar, hingga mustahil ada orang yang bisa lompat pagar itu.
Kepala Unit Terapi dan Rehabilitasi BNN Agus Gatot Purwanto mengatakan, kawat berduri ini dipasang sebab banyak pasien yang mencoba kabur saat menjalani terapi.
"Disamping itu untuk menjaga agar orang luar tidak bisa masuk sebab peralatan yang ada harganya cukup mahal," katanya.
Lepas dari pintu gerbang, kita bisa melihat gedung utama, aula, sarana ibadah dan penginapan para tamu (guest house) dan sarana pendukung lainnya.
Di bagian paling belakang, barulah dipakai untuk asrama pasien khusus pecandu narkoba. Unit rehabilitasi ini berkapasitas 500 pasien.
Pekan lalu, unit ini menangani 188 pasien, sehingga masih dapat menerima pasien ratusan orang lagi.
Tahun 2008 lalu, unit ini telah merawat 388 orang dan semuanya telah dinyatakan "lulus".
Kepala Sub Bagian Potensi Masyarakat Pusat Pencegahan BNN Dik Dik Kusnadi mengatakan, para pecandu narkoba tidak dipungut biaya selama menjadi terapi dan perawatan selama satu tahun.
"Anggarannya sudah disediakan oleh negara. Begitu mendaftar ke sini dan diterima maka semua biaya ditanggung negara," katanya.
Untuk itu ia meminta kepada para warga untuk tidak ragu-ragu membawa anak atau keluarganya ke unit ini jika ingin sembuh dari ketergantungan narkoba.
Syarat Mudah
Agus mengatakan, syarat para pecandu narkoba untuk menjalani terapi sangat mudah, asalkan ada dukungan dari orang tua dan keluarga.
"Orang tua harus menyerahkan penuh anaknya untuk direhab selama satu tahun secara tertulis," katanya.
Bahkan, pecandu yang sedang sakit misalnya hepatitis dan HIV pun, masih bisa diterima.
Penyakit hepatitis, HIV dan AIDS sering menyerang para pecandu narkoba.
Namun unit ini belum bisa menerima pecandu yang telah terjangkit AIDS, karena belum ada sarana penyembuhannya.
Selain itu, pecandu yang sudah rusak syaraf dan susah disembuhkan juga tidak diterima.
Agus menjelaskan, jika orang tua mau mengobati anaknya maka dapat langsung menghubungi BNN, Badan Narkotika Provinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota.
Bila orang tua tidak mau bisa membawa anaknya ke BNN karena si anak menolak maka BNN sanggup membantu dengan cara "mengambil paksa" asalkan dibawa ke Jakarta.
"Kemarin ada pecandu narkoba dibawa ayahnya berwisata ke Ancol lalu di sana kita tangkap anaknya terus dibawa ke sini. Tapi penangkapan ini sudah koordinasi dulu dengan orang tua," katanya.
Begitu datang ke unit ini, maka pecandu akan menjalani serangkaian tes medis untuk mengetahui tingkat ketergantungan dan penyakit yang diderita.
Bila memiliki penyakit dalam seperti hepatitis maka akan mendapatkan perawatan hingga sembuh.
Proses identifikasi penyakit lalu diikuti dengan proses detoksifikasi selama sekitar dua bulan untuk menyembuhkan sakaw atau lepas ketergantungan obat secara fisik.
"Detoksifikasi ini dilakukan dalam ruangan khusus. Pecandu sering sensitif terhadap orang lain sehingga hanya petugas khusus yang dapat masuk ke ruang detoksifikasi," kata Agus.
Proses detoksifikasi selama dua bulan akan dilanjutkan dengan tahap stabilitasi hingga selama enam bulan dengan tujuan agar pecandu lepas dari ketergantungan narkoba.
Memasuki enam bulan, pecandu mulai menjalani rehabilitasi sosial dengan cara melakukan aktivitas sehari-hari di asrama dengan pengawasan petugas khusus.
Semua kegiatan mulai bangun tidur hingga tidur lagi wajib dijalani oleh pecandu.
Jika kegiatan di dalam asrama mulai normal maka pasien mulai dilepas ke masyarakat tapi tiap sore harus kembali ke unit rehabilitasi.
"Selama dilepas ke masyarakat, kami tetap memantau mereka dan secara rutin akan menjalani tes darah. Yang terbukti mengkonsumsi narkoba lagi maka akan dimasukkan lagi ke tahap detoksifikasi," ujar Agus.
Seluruh proses terapi dan rehabilitasi ini membutuhkan waktu satu tahun. "Kami minta kepada semua warga untuk menyerahkan anaknya ke BNN untuk diterapi. Jangan khawatir dia akan dimasukkan ke penjara jika berhubungan dengan BNN. Kami justru akan menyembuhkan," katanya. (*)
Oleh Oleh Santoso
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009