Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Front Persatuan Nasional (FPN) KH Agus Miftach mengatakan, memberikan suara pada pemilihan presiden (pilpres), 8 Juli 2009, bukan sekadar memilih seorang pemimpin, tetapi sebagai landasan dan modalitas bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia.
"Jika kita berhasil menyelenggarakan pilpres dengan kualitas politik yang baik dan memiliki legitimasi secara moral, maka sesungguhnya kita tengah mengatasi disorientasi dan dislokasi untuk menemukan mainstream nilai-nilai modernitas sosial dalam menciptakan emansipasi sosial kebangsaan ke depan," katanya di Jakarta, Rabu.
Ketika menyampaikan hasil Dialog Kebangsaan X bertemakan "Memahami Makna Pemilihan Presiden 2009", Agus mengatakan, sinyalemen berkurangnya komitmen ideologi kebangsaan saat ini tidaklah menjadi soal, jika pemerintah mampu menjamin tercapainya secara riil kemakmuran dan keadilan.
"Tujuan ideologi kebangsaan adalah kemakmuran dan keadilan, sehingga Pemerintah, KPU dan institusi sosial wajib mensosialisasikan seluas-luasnya kepada masyarakat tentang pentingnya pilpres, bukan hanya secara teknis, melainkan juga secara falsafah agar tetap memiliki ketertautan dengan nilai-nilai kebangsaan, kebudayaan, keimanan dan keagamaan," katanya.
Menurut Ketua Harian Komisi Pemilihan Umum (1999-2002) itu, setelah proklamasi kemerdekaan, pemilu baru diadakan pada 1955 dengan UUDS yang liberal dan ironis Parlemen hasil Pemilu 1955 itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 dengan suatu Dekrit Presiden, yang kemudian terkenal sebagai Dekrit Kembali ke UUD 1945. Suatu anti klimaks yang kurang menguntungkan proses demokrasi, tetapi memenuhi kebutuhan untuk menjaga persatuan nasional.
Setelah itu sepanjang pemerintahan Soekarno hingga kejatuhannya pada 1966, Pemilu tidak pernah diselenggarakan. Meski demikian Soekarno menyebut era setelah dekrit itu sebagai Demokrasi
Terpimpin. Yang sesungguhnya tidak ada demokrasi atau demokrasi tidak menjadi pilihan dalam proses pembentukan Negara-bangsa pada fase yang penuh konflik itu.
"Kini Indonesia ditengah hingar-bingarnya demokrasi yang bahkan agresif dengan mekanisme pemilihan langsung dengan destrukturalisasi yang nyaris anarkis. Tanpa disadari sesungguhnya kita telah tersuruk kedalam proses post-modernisme dengan dekonstruksi dan destrukturalisai a-historis," ujarnya.
Agus menambahkan, ketimpangan sosial, pengangguran dan kemiskinan sedang terus meningkat diperberat resesi global, sehingga gambaran ke depan ini meskipun bakal meraih sukses dalam pilpres, tetapi kita akan memasuki masa-masa depresiasi yang berat yang diwarnai dengan konflik-konflik sosial yang tampak membayang sekarang ini.
Agus mengharapkan, pasangan capres-cawapres khsusnya dari Partai Demokrat yakni SBY-Boediono mampu memberikan jawaban yang kreatif dan produktif terhadap tantangan yang sangat berat itu dan pasangan SBY-Boediono mampu memperoleh mandat rakyat dalam pilpres 8 Juli mendatang, untuk tujuan yang mulia, yaitu mengantarkan proses demokrasi pada arah yang benar untuk mencapai masa depan bangsa yang lebih maju dan sejahtera.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009