Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito menegaskan bahwa klorokuin dan hidroksiklorokuin termasuk obat keras dan penggunaannya untuk pengobatan COVID-19 harus dilakukan dengan pengawasan dari dokter.
"Penggunaan kedua obat tersebut tentunya harus berdasarkan pertimbangan medis dari dokter terhadap kondisi pasien. Karena obat ini termasuk dalam obat keras, maka hanya boleh diberikan di bawah pengawasan dokter dan diperoleh dengan resep dokter," katanya dalam keterangan tertulis BPOM yang diterima di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan, klorokuin sudah lama digunakan dalam pengobatan malaria namun izin edarnya sebagai obat malaria sempat ditarik dengan pertimbangan sudah ada resistensi. Hidroksiklorokuin sampai sekarang masih digunakan untuk pengobatan penyakit lupus dengan khasiat serta keamanan yang baik.
BPOM telah memberikan persetujuan penggunaan terbatas klorokuin dan hidroksiklorokuin dalam terapi pengobatan COVID-19 pada saat darurat.
Penny mengatakan bahwa penggunaan obat itu dapat menimbulkan efek samping dengan gejala paling umum sakit perut, mual, muntah, dan sakit kepala. Penggunaan obat tersebut juga berisiko menyebabkan detak jantung tidak teratur.
Kendati demikian, menurut Penny, kemunculan efek samping tersebut tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi individu.
BPOM bersama Komite Nasional Penilai Obat, farmakolog, dan klinisi lain sudah mengkaji penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin untuk pengobatan COVID-19 dengan memperhatikan manajemen penggunaan obat tersebut di negara seperti China dan Singapura serta pertimbangan Organisasi Kesehatan Dunia.
Penny mengatakan bahwa penggunaannya kedua obat itu untuk penanganan pasien COVID-19 bisa ditinjau kembali sesuai perkembangan.
"Keputusan ini dapat ditinjau kembali sesuai perkembangan terbaru dari studi klinik klorokuin fosfat dan hidroklorokuin sulfat dalam mengobati COVID-19. Produk ini disetujui penggunaannya hanya untuk pasien dewasa dan remaja," katanya.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) sudah mengeluarkan protokol terkait tata laksana perawatan pasien COVID-19, mulai dari yang bergejala ringan sampai berat, termasuk tata laksana pemberian obat pada pasien.
Menurut dokter spesialis paru-paru dari RSUP Persahabatan Andika Chandra Putra, sebelum diberi obat klorokuin pasien COVID-19 harus menjalani pemeriksaan awal dan selama proses terapi mereka tetap harus menjalani pemeriksaan elektrokardiogram untuk pengecekan irama jantung.
"Bagi klinisi tentu sebelum memberikan obat itu harus dipastikan dulu kondisi jantungnya baik atau tidak. Atau melakukan pemantauan lewat EKG (elektrokardiogram) melihat irama jantungnya ada perburukan atau tidak," kata Ketua Bidang Ilmiah dan Penelitian PDPI itu.
Baca juga:
Pakar farmakologi UGM jelaskan efek samping klorokuin
Dokter: Klorokuin bukan obat untuk pencegahan COVID-19
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020