Jakarta, (ANTARA News) - Pengamat politik mengatakan rakyat perlu mewaspadai perang intelijen yang mungkin dilakukan para mantan perwira tinggi (pati) TNI yang menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

"Jika itu terjadi dan tidak disikapi dengan bijaksana, tidak tertutup akan terjadi kekisruhan pada pemilihan presiden yang akan datang," kata peneliti politik nasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), DR. Lili Romli di Jakarta, Senin.

Menurut Lili, selain mencari kebobrokan capres/cawapres yang menjadi rival, perang intelijen juga dikhawatirkan mengarah pada mobilisasi massa untuk menolak hasil yang tidak sesuai keinginan.

Jika hal itu terjadi, dikhawatirkan terjadi pemanfaatan emosi rakyat untuk melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kekisruhan sebagai protes atas hasil yang didapatkan.

Untuk itu, kata Lili, para mantan pati TNI diimbau tidak memanfaatkan pengaruhnya sebagai mantan petinggi untuk menggunakan instrumen intelijen di kalangan militer nasional.

Para mantan petinggi itu juga diharapkan dapat menunjukkan sikap kenegarawanan.

Hal itu diperlukan karena dengan pengalamannya berdinas sekian lama, para mantan petinggi TNI itu tetap mampu melakukan perang intelijen meski tidak mempergunakan instrumen intelijen TNI.

Namun Lilik menyatakan belum melihat adanya aksi perang intelijen meski ada pihak capres/cawapres yang mulai meniup isu seperti neoliberalisme.

"Isu neoliberalisme itu bukan bagian dari perang intelijen tetapi masih wacana yang perlu diperdebatkan," kata dosen Universitas Indonesia itu.

Namun, Ketua Umum Legiun Veteran RI, Letjen TNI (Purn) Rais Abin menyatakan, perang intelijen itu tidak mungkin dilakukan kecuali untuk tujuan "black campaign" dan membuat "black mail" sebagai bagian "psy war" (perang psikologis).

"Kalau memang itu yang akan dipergunakan, sudah terlambat," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009