Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi saksi David Muliono, swasta, perihal dugaan aliran uang kepada tersangka mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (NHD).
KPK, Kamis, memeriksa David sebagai saksi untuk tersangka Nurhadi dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011-2016.
"Penyidik masih mendalami pengetahuan saksi mengenai adanya dugaan aliran uang kepada tersangka NHD," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Baca juga: KPK panggil empat saksi kasus suap dan gratifikasi Nurhadi
Selain Nurhadi, KPK juga telah menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu Rezky Herbiyono (RHE), swasta atau menantu Nurhadi dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HS).
Dalam penyidikan kasus itu, KPK hari ini juga memeriksa saksi advokat Mahdi Yasin untuk tersangka Hiendra. KPK mengonfirmasi yang bersangkutan terkait gugatan praperadilan yang diajukan tersangka Hiendra di PN Jakarta Selatan.
"Penyidik mendalami keterangan mengenai awal mula melayangkan gugatan praperadilan," ujar Ali.
Baca juga: KPK panggil seorang jaksa terkait kasus suap Nurhadi
Diketahui, Hiendra bersama dua tersangka tersebut sempat mengajukan gugatan praperadilan sebanyak dua kali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun semuanya ditolak.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Penerimaan tersebut terkait pertama, perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) (Persero) pada 2010.
Baca juga: KPK kembali panggil pengacara Hertanto saksi untuk tersangka Nurhadi
Pada awal 2015, tersangka Rezky menerima 9 lembar cek atas nama PT MIT dari tersangka Hiendra untuk mengurus perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN (Persero) dan dalam proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh PN Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.
Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut tersangka Rezky menjaminkan 8 lembar cek dari PT MIT dan 3 lembar cek milik Rezky untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp14 miliar.
Namun, kemudian PT MIT kalah dan karena pengurusan perkara tersebut gagal maka tersangka Hiendra meminta kembali 9 lembar cek yang pernah diberikan tersebut.
Perkara kedua adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT.
Baca juga: KPK: Bukti pembelian apartemen keluarga Nurhadi sebagai tambahan data
Pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT MIT. Perkara perdata ini dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
Pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari tersangka Hiendra kepada Nurhadi melalui tersangka Rezky sejumlah total Rp33,1 miliar.
Transaksi tersebut dilakukan dalam 45 kali transaksi. Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar. Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf Rezky.
Baca juga: KPK konfirmasi jaksa Sri Astuti terkait gugatan perdata PT MIT
Tujuan pemberian tersebut adalah untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT MIT.
Sedangkan perkara ketiga adalah penerimaan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan.
Tersangka Nurhadi melalui Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Penerimaan-penerimaan tersebut, tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020