Jakarta (ANTARA) - Fenomena virus corona jenis baru penyebab COVID-19 tak bisa lagi membuat manusia jumawa. Wabah mengerikan ini memaksa siapa saja, melihat lebih jernih ke dalam diri.
Resiko-resiko mengemuka, sejak kemudahan hidup ditawarkan oleh modernitas, yang dalam waktu sama kita tertimpa kegalauan paling memilukan.
Awal abad ke-19, Thomas Robert Malthus, sarjana masyhur yang menekuni bidang ilmu politik-ekonomi, terutama kajian demografi, meyakini pandangan skeptisnya tentang modernitas dengan bukunya An Essay on the Principle of the Population (1826).
Para cerdik-pandai sering menyebut teori-teori dalam bukunya itu sebagai malthusian trap. Jebakan Malthus, memprediksi manusia secara menyeluruh, karena kehidupan menjadi lebih, baik tapi tak akan mengalami kondisi masyarakat yang ideal atau utopia, sebuah mimpi untuk mencapai kondisi gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerto raharjo.
Sebagai seorang relijius, Malthus memercayai kalkulasinya menyoal angka populasi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang tak mampu mengelola sumber daya bumi untuk “memberi makan manusia”, yang kemudian ia menawarkan peristiwa-peristiwa kelak mungkin terjadi di masa depan.
Prediksinya berbau transendental, yang illahiah dan konon menciptakan keseimbangan pada bumi, berupa malapetaka: perang, kelaparan dan wabah penyakit.
Prediski Malthus meleset waktu itu, banyak koleganya mengabaikan teori-teorinya. Tapi tidak saat ini, tatkala ancaman wabah virus corona nyata menghampiri di depan rumah kita.
Dunia modern bertransformasi, kesepian dan kengerian kemudian menyatu. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, pada awal April, yang dimuat oleh kantor berita BBC memberi pidato menyedihkan bahwa kita memasuki tantangan terberat bagi umat manusia, bahkan sejak Perang Dunia II. Yang kemudian ditambahkan Guterres, yakni potensi dampak sosio-ekonomi akan telak menyebabkan resesi (great recession) yang mungkin belum pernah terbayangkan di masa lalu, bahkan sejak PBB didirikan.
Abad 21 sudah pasti merebakkan paham neo-Malthusian, mereka para ilmuwan pendukung teori Malthus itu. Kematian sejatinya akan menjemput, menghambat populasi penduduk bumi secara paksa dengan cara-cara yang tragis.
Bahwa kenyataan menyodorkan wabah virus corona makin cepat menyebar (dalam tiga bulan sejak awal 2020 di luar China). Pertama, menimbang mobilitas manusia di tiap tempat di negara-negara manapun, dalam dunia yang “makin menyempit” karena relasi-relasi korporasi global makin intens, transportasi udara makin murah dan mudah.
Kedua, menghilangnya "hutan" dan digantikan oleh wilayah "lahan-lahan produktif" dan "spesies tanaman homogen" disebut kepastian terkini kesuksesan agro-industri, yang mengakibatkan habitat penyakit-penyakit satwa liar, seperti HIV, Avian Influenza dll, termasuk COVID-19, menjadi pandemik global di masa-masa depan yang tentunya lebih mengerikan terjadi (lihat di buku Big Farms Make Big Flu, 2016, dari Rob Wallace, seorang biologis evolusioner).
Ketiga (terakhir), yang mengenaskan dengan keprihatinan para pakar tata kota, ahli geografi atau urbanis, kepadatan penduduk di daerah miskin kota sangat rentan terpapar wabah ini, mempercepat angka kematian melambung tinggi di pelosok jagat.
Rentan Terinfeksi
Dari total sejumlah 2.033.452 kasus terinfeksi penduduk bumi, menurut www.worldometers.info pada 15 April 2020, kematian telah mencapai 129.843.
Sebagai catatan, virus corona memang tak mengenal ras, ideologi, warna kulit juga status sosial dan usia. Dari Pangeran Charles (Prince of Wales) sampai bintang K-Pop, atlet ternama yang terjaga imunitasnya dan tenaga medis yang merawat pasien COVID-19 di manapun, selain orang-orang biasa bisa menjadi suspek terinfeksi.
Para pakar demografi dan urbanis sepakat, pun para ahli kesehatan masyarakat, bahwa mereka yang rentan terpapar tak hanya yang lansia, memiliki penyakit bawaan atau tinggal di negara-negara dengan iklim tertentu.
Tapi, mereka yang lemah adalah mereka yang dalam jangkauan skala densitas atau tingkat kepadatan dalam permukiman penduduk, terutama kota-kota raksasa dengan pemukim jutaan jumlahnya, serta sistem sanitasi yang buruk, akses infrastruktur rumah sakit yang lemah, yakni: permukiman kalangan kelas menengah ke bawah.
Selain itu, faktor kultural menjadi elemen berikutnya, seperti gaya hidup yang seringkali bercengkerama fisik bersama-sama, seperti di Indonesia yang abai soal physical distancing juga apapun yang terjadi tak peduli lagi. Sementara negara-negara Barat beresiko tinggi terinfeksi, terutama yang memiliki tradisi kolektivisme, kekuatan batin keluarga besar, seperti keluarga-keluarga di Italia atau Spanyol terdampak cukup parah COVID-19.
Kita masih ingat, buku cemerlang Planet of Slums (2006), dari penulis provokatif urbanisme terkenal Mike Davis adalah penjabaran jujur bagaimana kondisi dunia urban yang memiriskan, kemiskinan dan kegagalan politik untuk memberi tempat yang layak bagi yang tak mampu dalam permukiman yang sehat dan meningkatnya drastis daerah-daerah slum, tempat-tempat kumuh, rawan kriminal, rentan persebaran penyakit menular, serta sanitasi jelek di kota-kota besar.
Davis memang mencatat, dalam bukunya yang beraroma distopia (masa depan yang buruk) tersebut, tak banyak mengupas dengan detail kota-kota besar, permukiman warga masyarakat “Dunia Pertama”, seperti di Amerika Serikat atau kota-kota besar di Eropa, tapi lebih pada distrik kumuh, seperti Favela, Rio De Janeiro, di Brazil, atau Dharavi di Mumbai, India, dan Nezo Chalco Itza di Meksiko atau distrik Kowloon, Hong Kong juga ini, Davis luput menceritakan panjang lebar daerah kumuh paling sohor kala virus corona pada akhir 2019 merebak: Distrik Jianghan, kota Wuhan, China.
Episentrum tragedi global ini bermula di Pasar Makanan Laut Huanan, yang juga menjual satwa liar hidup di salah satu wilayah terkumuh di China, Distrik Jianghan, Wuhan, di Provinsi Hubei dengan penduduk 11 juta jiwa, yang mengakibatkan saat ini 82,295 kasus terinfeksi COVID-19 dan menciptakan kematian bagi 3.342 orang.
Pada Desember 2019, pasar Huanan itu yang bisa dilewati siapa saja, terletak di pinggir jalan, menurut investigasi The Wall Street Journal dan New York Times melaporkan bahwa kondisinya memang tak layak dan sehat, pasar punya akses sempit antarkios pedagang, hewan ternak dipelihara bercampur hewan mati.
Sepertinya, kita akrab dengan kondisi itu, layaknya pasar-pasar tradional di Indonesia. Maka, mereka, media-media besar itu, mengutip pandangan mata reporternya bahwa orang-orang nampak terbiasa melihat hewan disembelih secara terbuka di pasar Huanan.
Bangkainya dikuliti di pasar, sementara sanitasinya, lagi-lagi jelek serta ini: tumpukan sampah di lantai basah.
Bagaimana dengan kota di Eropa yang terkenal tempat-tempat terbersih dan higienis pada ruang-ruang publiknya?
Para urbanis sepakat juga, mereka yang tinggal di derah padat akan menjadi episentrum persebaran virus. Italia, yang beberapa saat lalu dengan sangat sedih Perdana Menterinya mengatakan merasa telah ditinggal oleh masyarakat UNI Eropa dalam masalah virus corona.
Yang terdampak parah, menurut Giuseppe Conte, adalah wilayah Lombardy, dengan penduduk 10 juta jiwa, seperenam populasi penduduk Italia keseluruhan dengan area sekitar 23.844 kilometer persegi.
Lombardy sangat padat penduduknya dengan 16 kasus pertama pada awal Februari serta sampai 20 Maret 2020 (Reuter) menyumbang sebanyak 6.818 yang mati, yang dari kasus terinfeksi sekarang seluruh Italia 165.155 orang dan tingkat kematian total sejumlah 21.645 orang (15 April 2020/Wordometer.info).
Wilayah ini, Lombardy, menjadikan pejabat berwenang setempat menerapkan sanksi keras dan tegas dengan konsep lockdown serta belasan provinsi lain pada akhir Maret lalu untuk karantina kota.
Sementara itu, Spanyol, yang memiliki kesamaan tentang semangat kolektifisme sosial ala Italia, dengan kehangatan keluarga besar mendapatkan kenyataan pedih menempati urutan ke-3 jumlah kematian di seluruh dunia setelah Italia, yakni sebanyak 18.579 terbunuh yang memberi Amerika Serikat tingkat tertinggi dengan 26.305 kematian, sementara posisi China, bahkan lebih sedikit dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Para urbanis dan pakar kesehatan masyarakat di Spanyol menaruh perhatian dan sangat prihatin dengan kondisi di Cañada Real Galiana. Sebuah wilayah yang membuat Spanyol malu pada dunia, sebab itu adalah daerah kumuh terbesar seantero Eropa Utara.
Sebuah distrik dari wilayah pinggiran kota Madrid dan banyak pemukim ilegal, sejumlah 30.000-an orang.
Di luar Eropa, yang paling banyak menghiasi media sosial diimbuhi cuitan-cuitan kontroversi, Presiden Trump yang sedang panik, daripada dikatakan berang, adalah tentunya kota New York, Amerika Serikat, dengan penduduk sekitar 9 juta jiwa itu.
Dari sumber Departemen Kesehatan & Mental Kota New York (bahwa episentrum COVID-19 terkonfirmasi pola-polanya sangat parah sekali menyerang daerah dan lingkungan paling miskin dan tidak sehat dengan tingkat kepadatan tinggi, Distrik Queens.
Saat ini, sebanyak 110,425 orang terpapar infeksi dan 10.367 dinyatakan mati di Kota New York (bandingkan Jakarta tercatat dengan kasus 2.447 orang, dengan penduduk yang meninggal 246 orang, sesuai data di corona.jakarta.go.id).
Baca juga: 20 marinir Prancis masih dirawat menyusul wabah corona kapal induk
Menurut data kependudukan, lingkungan di daerah Queens, perbatasan dengan Manhattan adalah area administratif kedua terbesar populasinya setelah Brooklyn, yang estimasinya adalah sejumlah 2.253.858 pemukim pada 2019, dengan sekitar 47,5 persennya lahir dari para imigran.
Data-data di atas tersebut tentunya belum memasukkan India, yang populasi perkotaan-nya, seperti Mumbai dengan distrik kumuh Dharavi, wilayah paling rentan tertular dan angka kematian mungkin akan sangat tinggi, sebab kepadatan yang tinggi pula.
Baca juga: ASEAN hingga 13 April catat 884 kematian akibat COVID-19
Demikian juga negara-negara Afrika dan Amerika Latin, serta Asia lainnya, dengan penolakan-penolakan daerah dan negara-negara berkembang yang tentu dengan respons keras sebab konsep lockdown menerpa nasib ke depan para penduduk di sektor-sektor kerja informal.
Pada akhirnya, semasa Malthus dulu, pada abad 19, pascamasyarakat industri sedang aktif berkembang, penduduk bumi baru sejumlah semiliar manusia.
Baca juga: Menkeu Inggris sebut PDB bisa turun 30 persen di tengah pandemi
Sekarang, dengan beban sekitar 7,8 milliar populasi manusia (PBB, 2020) ditunjang kondisi-kondisi migrasi yang tak terelakkan, krisis kondisi wilayah urban dan tata kota yang buruk, hutan-hutan dibabat untuk lahan industri, hantaman wabah penyakit mematikan menjadi tak terelakkan.
Pelan dan pasti, sosok tentang ahli demografi Robert Malthus menyergap benak, bahwa tragedi bersisihan dengan kemudahan-kemudahan yang dinikmati manusia selama dua abad ini.
*) Bambang Asrini Widjanarko adalah seorang Esais dan pemerhati isu sosial-budaya
Copyright © ANTARA 2020