Ambon (ANTARA News) - Geba Waimesse alias Pace (26), warga Kopertis Kelurahan Karang Panjang (Kecamatan Sirimau), Sabtu pagi ditemukan dalam keadaan tewas tergantung di kuda-kuda bambu di menara Gereja Maranatha Ambon.

Keluarga korban menduga Waimesse melakukan perbuatan itu akibat stres ditinggalkan calon isteri.

"Sejak ditinggalkan calon istri beberapa waktu lalu, Pace sering melamun dan jiwanya agak terganggug akibat stres," kata Yul Tomhissa, salah satu keluarga korban saat ditanyai sejumlah wartawan.

Menurut Tomhissa, yang berdomisili di kawasan Batugajah, korban hari Jumat pagi (29/5) datang dari kampungnya di dusun Waespakat, Desa Waemual (Kecamatan Air Buaya) Kabupaten Buru, dan sempat singgah ke rumahnya.

"Waimesse sempat ke rumah saya Jumat malam sekitar pukul 22:00 WIT untuk makan malam, setelah itu dia pamit pulang ke Kopertis (Karangpanjang) dan saya sempat tegur dia jangan pakai pakaian serba hitam-hitam, tapi dijawab bahwa ini sudah ajalnya," kata wanita berusia 30 tahun in sambil mengusap air mata.

Keluarga korban lainnya, Agustina Tasijawa dan Ona Waimesse, juga mengatakan korban sering mengalami gangguan jiwa setelah ditinggalkan calon isterinya yang bernama Ince.

"Dia sering pulang ke Pulau Buru dan menetap beberapa hari, kemudian balik lagi ke Ambon. Tapi sejak semalam kami tidak tahu dia tidur di mana dan tadi pagi ada kabar kalau Waimesse ditemukan warga tewas di menara gereja," kata Tasidjawa.

Sejumlah aparat Reskrim Polres Pulau Ambon dan PP Lease yang menurunkan jasad korban menduga Waemesse nekat mengakhiri hidupnya sekitar pukul 08:00 WIT.

"Seorang penjual koran bernama Halim melihat korban yang sedang melepas sandal lalu memanjat tiang bambu setinggi lima meter kemudian melilitkan tali nilon warna biru ke lehernya," akui anggota Reskrim Polres tersebut.

Jasad Waimesse sudah berada di RS Bhayangkari di kawasan Tantui, Ambon, untuk diotopsi.

Kuda-kuda bambu tempat Waimesse gantung diri itu tingginya sekitar 4-5 meter dan dipasang pihak gereja sejak dua hari lalu untuk pemugaran.

Pengurus gereja, Pendeta Ny. S. Monyharapon mengatakan peristiwa itu merupakan yang pertama kali terjadi. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009