Jakarta (ANTARA News) - Ahli hukum tata negara, Denny Indrayana, menilai sistem multi partai seperti yang berjalan sekarang, gagal untuk melembagakan format koalisi permanen di antara partai-partai non mayoritas di parlemen.

Padahal koalisi permanen sangat menentukan lancarnya pemerintahan presidensial yang lebih efekktif dengan sistem dua partai atau multi partai, katanya pada sarasehan dengan ikatan alumni perhimpunan mahasiswa hukum Indonesia (Ika- Permahi) di Jakarta, Jumat.

Kegagalan penciptaan multi partai sederhana itu terlihat dari masih banyaknya jumlah partai politik yang berpartisipasi sebagai peserta Pemilu.

Contohnya, kata dia, pada Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai, 2004 ada 24 partai dan pada Pemilu 2009 ini diikuti oleh 44 partai enam di antaranya partai lokal.

Kondisi demikian dipicu beberapa hal, antara lain inkonsistensi regulasi sistem kepartaian. Pasal 316 huruf d UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif misalnya, menjadi bukti norma hukum yang manipulatif karena proses perumusannya nyata-nyata dipenuhi kepentingan partai besar dan kecil di DPR.

Ambang batas Pemilu yang sebelumnya diisyaratkan untuk peserta Pemilu 2009 dengan mudah dinaifkan, akibatnya agenda penyederhanaan Parpol tak terjadi.

Pasal 316 itu mengatur Parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan pasal 315, dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2004.

Ketentuan inilah yang menjadi tiket gratis bagi sembilan partai peserta Pemillu 2004, dapat menjadi peserta peserta Pemilu 2009 meski mereka tidak memenuhi ketentuan pasal 315.

Konsekuensinya, sistem presidensial yang ada tetap rapuh karena berpijak pada sistem multi partai yang semakin tak sederhana.

Upaya advokasi dalam peninjauan ulang konstitusi di Mahkamah Konstitusi(MK) tidak berhasil sempurna. Meskipun MK membatalkan ketentuan dalam pasal 316 hurup d UU Pemilu ligsilatif, namun putusannya Nomor 12/PUU-VI/2008 tidak serta merta membatalkkan keikutsertaan sembilan Parpol peserta Pemilu 2009.

Seharusnya, keputusan MK itu mempunyai dampak yuridis konstitusional pada pelaksanaan Pemilu 2009, namun justru bertentangan dengan konstitusionalitas putusan MK itu sendiri.

Karena itu, penerapan ambang batas harus lebih tegas diterapkan oleh KPU dan tidak hanya berlaku untuk Parpol calon peserta Pemilu saja, tetapi juga bagi Parpol peserta Pemilu sebelumnya berikut pengurusnya.

Hal itu tidak bertentangan dengan hak asasi untuk berserikat dan berkumpul, karena larangan itu hanya diberlakukan untuk satu kali Pemilu saja.

Dengan ketentuan seperti itu, maka petualang politik yang membuat partai hanya untuk kepentingan sesaat akan berkurang dan akhirnya tujuan penyederhanaan partai akan terwujud.

Ketua Ika-Permahi, Rini M Dahliani, pada acara itu menyatakan, dalam Pemilu 2009 ada beberapa hal yang menarik perhatian, antara lain akses sebagian warga negara untuk memilih terhalang manuver politik partai yang tidak logis.

Propaganda politik yang sulit dipersoalkan secara legal apabila terjadi ingkar janji, semuanya tersaji ke hadapan publik dan bisa menjadi tontonan yang tidak sehat bagi upaya pendewasaan pemahaman politik warga negara.

"Kami terpanggil melakukan sesuatu dalam bentuk mendorong munculnya kembali diskursus yang menyoal hakekat dari Pemilu dalam era modern saat ini," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009