Jakarta, (ANTARA News) - Di hadapan sejumlah budayawan dan seniman yang memenuhi Graha Bhakti Budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Kamis, capres Susilo Bambang Yudhoyono membacakan puisinya yang berjudul "Palagan Terakhir".
Kutatap bukit Menoreh pewaris legenda
Guratan sejarah ketika raja berebut tahta
Di sepanjang pelana, di kolong awan jingga
Ksatria berlaga untuk sebuah nama...
Puisi yang dicipta di Semarang, 26 Januari 2004 itu merupakan salah satu puisi dari 31 puisi karangan Yudhoyono yang pernah dibukukan dengan judul Taman Kehidupan.
"Pernah dalam satu waktu saya kebanjiran ide sehingga bisa membuat 31 puisi dalam dua bulan," katanya sebelum membacakan puisinya.
Ia diminta untuk membacakan puisinya itu setelah sebelumnya bersama cawapres Boediono melakukan dialog dengan tema "Kebudayaan dan Kepresidenan".
Lima orang menjadi panelis dalam acara itu yaitu budayawan Radhar Panca Dahana, penyair Taufik Ismail, sejarawan Taufik Abdullah, budayawan Abdul Hadi WM dan pengamat budaya Komaruddin Hidayat.
Moderator acara itu Noorca M. Massardi mengatakan selama ini di dunia sastra Indonesia sudah ada presiden penyair, tetapi belum ada penyair presiden.
Ia menjawab dirinya meski suka membuat puisi dan mengarang lagu bukanlah seorang penyair. "Saya hanya suka mengungkapkan apa yang ada di hati saya melalui seni, karena kadang-kadang lebih bisa diterima," katanya.
Dengan suara lantang ia pun membaca puisinya bak seorang penyair sungguhan.
...dengan hatiku, kupadamkan bara penebar maut dan raga, di sini di tanah ini.
(*)
Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009