Jakarta (ANTARA News) - Wakaf adalah bagian hukum Islam yang mendapat pengaturan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian, wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia.
Sebagai suatu lembaga keagamaan, di samping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakif (pemberi wakaf) di hari akhirat karena pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan.
Adapun dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu sasaran wakaf.
Dengan demikian, jika wakaf dikelola dengan baik maka akan sangat menunjang pembangunan, baik di bidang ekonomi, agama, sosial, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. Di berbagai negara yang perwakafannya sudah berkembang dengan baik, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Negara yang sangat berpengalaman dalam mengembangkan wakaf, antara lain Mesir dan Turki. Wakaf di Mesir dikelola oleh Badan Wakaf Mesir yang berada di bawah Wizaratul Auqaf. Salah satu di antara kemajuan yang telah dicapai oleh Badan Wakaf Mesir adalah berperannya harta wakaf dalam meningkatkan ekonomi masyarakat.
Pengelolaannya dilakukan dengan cara menginvestasikan harta wakaf di bank Islam dan berbagai perusahaan, seperti perusahaan besi dan baja. Dengan dikembangkannya wakaf secara produktif, wakaf di Mesir dapat dijadikan salah satu lembaga yang diandalkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Di samping Mesir, masih ada beberapa negara yang mengelola wakaf secara produktif, salah satunya adalah Turki. Di Turki, wakaf dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf.
Dalam mengembangkan wakaf, pengelola melakukan investasi di berbagai perusahaan, antara lain: Ayvalik and Aydem Olive Oil Corporation; Tasdelen Healthy Water Corporation; Auqaf Guraba Hospital; Taksim Hotel (Sheraton); Turkish Is Bank; Aydin Textile Industry; Black Sea Copper Industry; Contruction and Export/Import Corporation; Turkish Auqaf Bank.
Hasil pengelolaan wakaf itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kepentingan sosial lainnya.
Solusi Pengentasan Kemiskinan
Sementara di Indonesia, saat ini kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan, namun kebijakan pemerintah itu belum mampu mengentaskan kemiskinan.
Kemiskinan merupakan persoalan yang menakutkan, yang dapat merajalela dan berpengaruh kepada sistem kehidupan yang lebih makro, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dilenyapkan.
Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat sebenarnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk menghadapi masalah kemiskinan tersebut, sebenarnya dalam Islam ada beberapa lembaga yang potensial untuk dikembangkan untuk mengatasi kemiskinan, salah satu di antaranya adalah wakaf.
Untuk menghadapi masalah kemiskinan tersebut, sebagaimana pengalaman Mesir dan Turki sudah seharusnya kita mengembangkan wakaf produktif.
Sudah selayaknya bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya menyambut baik kehadiran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf karena Benda wakaf yang diatur dalam undang-undang tentang wakaf ini tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, melainkan juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam termasuk wakaf uang dan surat berharga.
Pertanyaannya, mengapa wakaf yang sudah dipraktikkan di Indonesia sejak masuknya Islam di tanah air, sampai saat ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan umat, sementara jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak dan luas? Masalah berikutnya adalah bagaimana cara mengembangkan harta wakaf tersebut?
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat.
Pertama, masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf. Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkannya wakaf.
Kedua, pengelolaan dan manajemen wakaf. Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah pengelolaannya yang tidak profesional.
Ketiga, benda yang diwakafkan. Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga dan uang.
Keempat, nazir wakaf. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nazir. Nazir adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus, mengelola, dan memelihara harta benda wakaf. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazir yang profesional.
Untuk mengembangkan wakaf produktif di Indonesia pada saat ini sudah tidak ada masalah lagi, karena dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 sudah diatur mengenai berbagai hal yang memungkinkan wakaf dikelola secara produktif.
Wakaf Uang
Wakaf uang penting sekali dikembangkan di negara-negara yang kondisi perekonomiannya yang kurang baik, karena berdasarkan pengalaman di berbagai negara hasil investasi wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di negara yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak.
Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari'ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masyarakat sering bertanya, sebenarnya apa yang dimaksud dengan wakaf uang? Wakaf uang atau kadang disebut dengan wakaf tunai adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah yang dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf `alaih (penerima wakaf).
Menurut M.A. Mannan, wakaf uang dapat berperan sebagai suplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf.
Adapun sasaran pemanfaatan dana hasil pengelolaan wakaf uang yang dikelola oleh (Social Invesment Banking Limited) SIBL yang dipimpin Prof. Mannan antara lain adalah untuk peningkatan standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang cacat, peningkatan standar hidup penduduk hunian kumuh, membantu pendidikan anak yatim piatu, beasiswa, akademi dan universitas, mendanai riset, mendirikan rumah sakit, menyelesaikan masalah-masalah sosial non-muslim, dan membantu proyek-proyek untuk penciptaan lapangan kerja yang penting untuk menghapus kemiskinan sesuai dengan syariat Islam.
Dalam Pasal 28 Undang-Undang tentang Wakaf disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
Pada saat ini sudah ada lima Bank Syariah yang ditunjuk oleh Menteri Agama RI sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang, yakni PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO) Tbk. Divisi Syariah; PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk.; PT. Bank DKI Jakarta; PT. Bank Syariah Mandiri; dan PT. Bank Mega Syariah Indonesia.
Potensi Indonesia
Wakaf uang penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian kian memburuk. Dalam masalah ini, Mustafa Edwin Nasution pernah melakukan asumsi bahwa jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan per bulan antara 500.000 sampai 10.000.000, maka wakaf yang terkumpul selama satu tahun sejumlah 3 triliun rupiah.
Masalahnya, uang tersebut tidak dapat langsung diberikan kepada mauquf `alaih, tetapi nazir harus mengelola dan mengembangkannya terlebih dahulu. Oleh karena itu menurut saya, nazir selain memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang tentang Wakaf, juga harus memiliki berbagai kemampuan yang yang menunjang tugasnya sebagai nazir wakaf produktif.
Untuk meningkatkan kualitas nazir tersebut, maka pembinaan terhadap mereka perlu segera dilakukan. Untuk itu di dalam Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Tentang Wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disebutkan bahwa BWI merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya. Adapun tugas dan wewenang BWI disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1).
Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa BWI mempunyai beberapa tugas dan wewenang, antara lain melakukan pembinaan terhadap nazir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf, lalu melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
Sehubungan dengan tugas dan wewenangnya tersebut BWI merumuskan visi, yaitu terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional. Adapun misinya adalah menjadikan BWI sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum.
Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut, BWI telah merumuskan beberapa strategi sebagaimana tertulis dalam naskah, dan untuk merealisasikan visi, misi, dan strategi yang sudah ada, BWI mempunyai lima divisi, yaitu Divisi Pembinaan Nazhir, Divisi Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf, Divisi Kelembagaan, Divisi Hubungan Masyarakat dan Divisi Penelitian dan Pengembangan.
Diharapkan dengan strategi dan program-program kerja divisi-divisi yang ada, BWI dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Untuk merealisasikan program-program tersebut, tidaklah mudah. Oleh karena di samping memerlukan biaya yang cukup besar, sumberdaya yang memadai, juga diperlukan peraturan untuk menjalankannya.
Sebagai contoh kasus, dalam menerapkan wakaf uang. Meskipun beberapa bank yang ditunjuk Menteri Agama sebagai LKS Penerima Wakaf Uang sudah siap untuk mengaplikasikannya, tetapi sampai saat ini belum dapat bekerja secara optimal karena Peraturan Menteri Agama tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 masih dalam proses.
Untuk mengelola wakaf uang, BWI telah mengeluarkan Peraturan tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang (Peraturan BWI No. 1 dan 2 tahun 2009). Dengan Peraturan BWI tersebut diharapkan nazir wakaf uang yang selama ini sudah ada, dapat mengaplikasikannya sesuai dengan peraturan yang ada.
Penulis yakin dengan pembinaan nazhir yang akan dilakukan BWI, di masa yang akan datang, Indonesia akan memiliki nazir-nazir yang profesional, yang mampu mengelola wakaf secara produktif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, hasil pengembangan wakaf yang dikelolanya dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Meskipun demikian, harus kita sadari bersama bahwa berhasilnya pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan nazir, tetapi juga sangat tergantung pada komitmen bersama antara nazir, masyarakat khususnya umat Islam, BWI dan pemerintah. Wallahu a'lam. (*)
** Penulis adalah Ketua Litbang Badan Wakaf Indonesia dan Guru Besar Hukum Islam FHUI.
Oleh Oleh Uswatun Hasanah
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009