Surabaya (ANTARA News) - Tanyalah anak sekarang tentang pathil lele, pandhe, dakon, cublek-cublek suweng, gobak sodor, karambol, beteng-betengan, egrang, engkle, dan sejenisnya.

Tentu, mereka tidak akan menjawab secepat ketika ditanya tentang playstation (PS), tamiya, viewmaster 3D, games komputer, line tracer (robot-robotan), dingdong, dan banyak lagi.

Apakah anak-anak sekarang lupa dengan "dulinan" (permainan tradisional)?

Itulah keresahan seorang ibu rumah tangga yakni Sarah. A. Wiratmoko, yang merupakan warga Kota Surabaya, Jatim.

"Permainan tradisional kian punah, akibat efek modernisasi yang semakin menyentuh ruang privat, yakni ruang keluarga," ucap ibu dua putra itu.

Ia merasa anak-anak sekarang semakin dimanjakan oleh fasilitas atau alat-alat permainan modern, sehingga mereka tidak mengenal lagi permainan tradisional khas Surabaya.

"Mungkin anak-anak sekarang tidak dapat disalahkan, tapi orang tua yang bersalah karena tidak mengenalkan dulinan kepada anak-anaknya," tutur penggagas `olimpiade dulinan` itu.

Keresahan itulah yang akhirnya memunculkan inspirasi baginya untuk menggelar "Olimpiade Dulinan Suroboyoan 2009" (Olimpiade Permainan Tradisional Kota Surabaya 2009) di Taman Surya, Surabaya pada 23 Mei 2009.

Sebanyak 600 siswa dari 24 Sekolah Dasar (SD) se-Surabaya mengikuti "Olimpiade Dulinan Suroboyoan 2009" yang dihelat untuk menyemarakkan HUT ke-716 Kota Surabaya pada 31 Mei 2009.

"Saya bangga, meski target saya untuk mengundang 60 SD hanya dihadiri 24 SD, karena saya melihat anak-anak tampak senang dengan dulinan dan mereka juga dapat menjadi juara dulinan," ujarnya.

Kebanggaan Ny Sarah itu agaknya beralasan, karena anak-anak SD di Surabaya masih merasa senang dengan dulinan, kendati saat ini permainan modern telah "mengepung" (menyergap) mereka dari dalam rumah mereka.

"Saya senang, meski saya kalah dalam (lomba permainan tradisional) Gobak Sodor. Kalau karambol, saya belum pernah main, karena itu saya tertarik," kata siswa kelas 5 SD Integral `Lukman Hakim` Surabaya, Faris.

Didampingi rekannya, ia mengaku dirinya masih sering bermain "Gobak Sodor" di kampung dan bermain "Beteng-betengan" di sekolah bersama teman-teman.

"Karena itu, saya senang ikut lomba Gobak Sodor dan Beteng-betengan itu, tapi kalau yang lain nggak pernah main," ujarnya.

Rasa senang juga menyelimuti Cessa dari SD Santa Theresia, Jalan Residen Sudirman, Surabaya, apalagi dia bersama rekan-rekannya akhirnya masuk final dalam olimpiade dulinan yang baru pertama kali digelar itu.

"Kalau di rumah, saya sering main bekel, tapi kalau di sekolah banyak permainan tradisional yang disiapkan kepala sekolah untuk dimainkan bersama," kata siswi kelas enam itu, bercerita.

Filosofis

Seolah-olah tak mau kalah, istri Wali Kota Surabaya Ny Dyah Katarina Bambang DH masih terlihat terampil melompat naik-turun dalam "dulinan" (permainan tradisional) lompat tali.

Lompat tali adalah permainan melompat dengan halang-rintang berupa tali yang terbuat dari gelang karet yang dirajut bak anyaman.

"Walau sudah punya cucu, saya tidak mau kalah dengan yang muda-muda, lho. Saya dulu `kan juara lompat tali," ucap Ketua Tim Penggerak PKK Kota Surabaya itu.

Tidak hanya itu, dia juga masih terlihat gesit ketika bermain gobak sodor, meski dengan napas tersengal-sengal.

"Kalau acara seperti itu mau diadakan lagi ya monggo (silahkan), tapi pemerintah kota tidak akan mengadakan acara itu, karena sebaiknya tumbuh dari masyarakat, nanti pemerintah kota yang membantu," ujarnya.

Ia berharap apa yang digagas Ny Sarah dan kawan-kawannya itu akan menjadi inspirasi bagi sekolah se-Surabaya untuk "menghidupkan" permainan tradisional itu kembali.

"Kita wajib mengenalkan dulinan itu kepada anak-anak, agar mereka tidak bermain playstation terus, apalagi banyak manfaat permainan tradisional itu," katanya.

Manfaat dulinan, katanya, bukan hanya membuat senang, tapi juga melahirkan ketangkasan fisik, mengatasi rasa minder, melatih kebiasaan menang dan kalah, kejujuran, kepemimpinan, pembagian tugas, dan sebagainya.

"Jadi, ada nilai filosofisnya. Misalnya, gobak sodor dan beteng-betengan itu jelas-jelas menumbuhkan sifat kepemimpinan, kekompakan, dan kemampuan berbagi tugas secara `the right man on the right place` (pemberian tugas sesuai kemampuan)," ujarnya.

Pandangan Ny Dyah Katarina Bambang DH itu dibenarkan Ny Sarah A. Wiratmoko, yang dalam "Olimpiade Dulinan 2009" mengenalkan 15 dulinan yang terdiri atas 11 permainan yang dikompetisikan dan sisanya hanya permainan `ekshibisi`.

"Sebelas permainan tradisional yang dimaksud adalah Gobak Sodor, Karambol, Beteng-betengan, Bekel, Egrang, Engkle, Lompat tali, Nekeran, Pathil lele, Pandhe, dan Dakon," katanya.

Untuk empat permainan `ekshibisi` adalah Boi-boian, Salebor, Cublek-cublek suweng, dan Kenek-kenekan.

Ny Sarah menegaskan permainan tradisional itu bukan hanya melestarikan warisan budaya bangsa, tapi juga bisa menjadi terapi bagi anak.

"Saat bermain, anak-anak akan melepaskan emosinya. Mereka berteriak, tertawa, dan bergerak. Itu sangat sesuai dengan kebutuhan anak yang sedang tumbuh secara mental, emosi, dan nalar," katanya.

Ada sembilan kecerdasan dari "dulinan" itu, yakni berpikir taktis dan strategis, kecerdasan emosi yang menumbuhkan toleransi dan empati, logika, kecerdasan kinestetik (gerak), kecerdasan natural akibat menyatu dengan permainan berbahan alami, kecerdasan musikal, dan kecerdasan spiritual.

Paling tidak, Ny Sarah telah memulai langkah untuk memberi warna lain kepada anak-anak untuk menahan "serbuan" playstation (PS), tamiya, viewmaster 3D, dan sejenisnya, bahkan sangat mungkin akan melahirkan komunitas pelestari budaya di Kota Pahlawan. (*)

Oleh oleh Edy M Ya`kub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009