Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Australian National University (ANU) Dr. Daju Resosudarmo mengatakan perempuan di desa bergambut memiliki peran besar dalam menopang ekonomi keluarga di tengah larangan membakar gambut sebagai upaya merestorasi lahan.
"Banyak studi menunjukkan bahwa perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, itu tergantung penghidupannya secara langsung maupun tidak langsung pada hutan. Dan banyak penelitian juga yang menunjukkan bagaimana perempuan berperan dalam pengelolaan SDA secara berkesinambungan," katanya dalam diskusi daring berjudul Mengapa Perempuan Penting untuk Menjaga Lahan Gambut, Jakarta, Selasa.
Ia menyebutkan bahwa kebijakan larangan membakar lahan gambut secara langsung dapat mengganggu perekonomian warga yang sumber penghidupannya berada di sektor pertanian, seperti menanam padi.
"Mereka tidak bisa menanam padi, karena di lahan gambut, lahan gambut tipis terutama, lahan harus dibakar untuk kesuburan padi. Abu-abu dari rumput-rumput yang dibakar membuat padi menjadi subur. Tanpa abu itu padi tidak akan bertumbuh baik dan hasilnya kurang," katanya.
Baca juga: Perempuan-perempuan di daerah gambut Medang Kampai
Baca juga: Perempuan Dumai ikut kendalikan emisi dengan agroforestri
Oleh karena itu, larangan membakar lahan gambut semakin menyulitkan warga yang sumber penghidupannya dengan bertanam padi.
Hal tersebut mendorong masyarakat di sekitar lahan gambut untuk mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di tengah keterbatasan ekonomi dan kebutuhan untuk membeli beras dan kebutuhan lain, banyak di antara kepala rumah tangga di wilayah tersebut yang kemudian mencari pekerjaan di perkotaan, sehingga meninggalkan beban baru terhadap keluarga yang ditinggalkan.
Perempuan, terutama para ibu, memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari saat laki-laki harus mencari pekerjaan di tempat lain yang tidak memiliki penghasilan pasti.
"Selain bergulat dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena penghasilan suami yang mencari pekerjaan di luar tidak pasti dan tidak menentu waktunya, peran laki-laki di kebun juga dijalankan oleh perempuan yang ditinggalkan," katanya.
Selain itu, di tengah ketiadaan laki-laki karena harus bekerja di tempat lain, perempuan juga memiliki tanggung jawab baru untuk memadamkan kebakaran hutan di kebun karet mereka pada saat terjadi kebakaran hutan dan lahan.
"Jadi istilahnya kata ibu-ibu, mereka ini selain jadi ibu-ibu juga menjadi bapak-bapak," katanya.
Kemudian, ia juga mengatakan bahwa perempuan memiliki peran penunjang aktif dalam mitigasi kebakaran hutan dan lahan gambut.
"Mungkin mereka sering kali tidak ikut serta langsung sebagai anggota masyarakat peduli api (MPA), tetapi mereka bertanggung jawab dan berjibaku untuk mengatur konsumsi dan keuangan sehingga anggota MPA betul-betul melaksanakan tugasnya," katanya.
Adanya partisipasi aktif perempuan dalam pengurusan konsumsi secara langsung mendukung keberlangsungan pelaksanaan kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan.
"Jadi pengaturan konsumsi itu walaupun kelihatannya ringan, tapi kalau tidak ada yang bisa melakukan ini, maka kegiatan MPA juga tidak bisa dilakukan," ujar dia.
"Jadi walaupun di belakang layar, tetapi sebetulnya menurut saya, (peran mereka) critical, penting, karena tidak mudah untuk mengatur sekian, uangnya cuma sekian, harus bisa sekian lama dan sekian orang," katanya lebih lanjut.*
Pewarta: Katriana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020