Jakarta, (ANTARA News) - Jagat bola beruntung memiliki "striker" berbakat, bertaji dan berkelas dunia. Melewati beraneka krisis untuk melesakkan bola ke gawang lawan, baik Pele, Johan Cruyff maupun Di Stefano mengukir kemuliaan dan mencetak kejayaan. Gol demi gol menggetarkan lonceng nurani dunia.
Yang terlelap oleh kemilau, akhirnya tergetar oleh keajaiban demi keajaiban. Apa yang memukau dari trio pamungkas itu?
Ketiga pemain legendaris itu memproklamasikan "prinsip kenikmatan" (Lust prinzip) - memungut salah satu istilah kunci dari tokoh psikoanalisa Sigmund Freud - karena gol dapat diibaratkan seperti refleks mata bila terkena sinar menyilaukan. Kerlingan mata memberi rasa enak dan rasa tenang.
Gol menggerakkan aneka selebrasi di lapangan, memotivasi penonton agar meluncurkan selaksa pujian jika timnya menang, atau cemoohan bila skuad kesayangannya kalah .
Ketika menyaksikan laga bola, ada pertanyaan kunci yang menggelayut di benak: ini artinya apa? Jawabnya, kosmologi bola yakni menangguk kemenangan atau menyajikan permainan indah, atau justru kedua-duanya.
Sejatinya, ketiganya memerankan duta dari gaya "sepak bola menyerang" (attacking football) yang mengkampanyekan syahadat dari ungkapan Latin bahwa tidak ada orang yang dapat memberi, jika ia tidak memiliki (nemo dat quod non habet).
Yang membuat publik berdecak kagum, ketiganya mendemonstrasikan ketrampilan (skill), ketepatan (akurasi) dan kecepatan mengambil keputusan. Ruang laga menyempit, para "striker" itu terus mencari ruang untuk menemukan momen bagi terciptanya gol. Kata kuncinya: manuver.
Contoh yang baik diperankan oleh legenda sepak bola Argentina Diego Maradona. Manuvernya di lapangan hijau diibaratkan sebagai aksi dari matador dan banteng. Aksi Maradona ketika menguasai bola seakan mengundang pemain lawan untuk melakukan reaksi. Sepak bola menyerang bukan semata-mata mengoper bola dari kaki ke kaki, tetapi melecutkan aksi dan reaksi. Ada dinamisme dalam energi laga bola.
Bagaimana rona sepak bola menyerang menginspirasi pesona laga politik pemilihan presiden 2009?
Tiga calon presiden (capres) masing-masing Susilo Bambang Yudhoyono, M. Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri saling memainkan teknik dribel di laga bola bermerk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mengibarkan gaya sepakbola menyerang, ketiga capres melontarkan strategi merebut relung hati rakyat.
Yudhoyono melontarkan janji pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 7 persen pada akhir tahun 2014 apabila dirinya terpilih kembali sebagai presiden untuk periode 2009-2014.
"Saya tidak menargetkan pertumbuhan 8 persen, 9 persen, atau di level dua digit, misalnya 10 persen, seperti yang disampaikan (beberapa calon presiden) pada pemilihan umum legislatif lalu. Itu karena dunia sedang menghadapi resesi. Pada tahun 2010 dan 2011, Indonesia akan berupaya memulihkan perekonomiannya dan ekonomi sejagat," kata Presiden Yudhoyono sekaligus capres periode 2009-2014 dari Partai Demokrat saat memaparkan visi dan misi pada Dialog Capres yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Rabu (21/5).
Menurut dia, pertumbuhan 7 persen tergolong realistis setelah memperhitungkan seluruf faktor pendorong ekonomi, yakni konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, ekspor dan investasi. Konsumsi rumah tangga diharapkan terus meningkat dengan mendongkrak daya belinya, antara lain dengan menekan inflasi di akhir tahun 2014 pada tigkat 6 persen.
Sedangkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga calon presiden dari Partai Golkar dalam Pilpres 2009, menjanjikan pertumbuhan ekonomi 8 persen mulai 2011 melalui kebijakan penurunan subsidi, pembangunan infrastruktur, dan perbaikan regulasi.
"Saya jamin kepada Anda, kita bisa tumbuh 8 persen mulai 2011 dengan mudah. Saya sanggup melaksanakan itu," katanya dalam Dialog Kadin di Jakarta, Senin (18/5).
Capres Jusuf Kalla mengemukakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya relatif tangguh ketimbang ketimbang negara lain seperti India dan Vietnam. Dengan gaya bicara lugas, ia menyebut bahwa selama ini Indonesia relatif terlambat bertindak.
"Masak kita mau kalah dengan India dan Vietnam. Apa kita dilahirkan begitu bodoh? Tidak. Kita hanya dilahirkan terlalu lambat untuk bertindak cepat demi kepentingan rakyat," kata Kalla.
Sementara, capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri meniupkan sangkakala optimisme meraih laju ekonomi minimal 10 persen pada 2014.
"Kami tidak menyebutkan sebagai target, tetapi lebih pada pandangan karena masa jabatan kami cuma 5 tahun. Kalau semua kebijakan bisa dilaksanakan dengan baik, (pertumbuhan ekonomi) `double` digit nggak mustahil dicapai," kata Megawati seusai acara dialog capres yang diselenggarakan oleh Kadin, Jumat (22/5).
Ia juga menyoroti masa 100 hari pertama yang dinilai tidak bisa dijadikan tolok ukur dibandingkan periode lima tahun pemerintahan. "Masa 100 hari itu cuma simbol gerakan kabinet. Pengalaman saya, rencana mau buat ini buat itu, tidak cukup waktu. Sekarang hanya sebatas analisa dan prediksi," katanya.
Capres Yudhoyono, Kalla dan Mega sama-sama mematok pertumbuhan ekonomi. Ketiganya memerankan substansi dari gaya sepak bola menyerang, yakni kuantitas. Hitung-hitungan meraja, angka menohok imajinasi publik dengan meminjam sejatinya dari sepak bola menyerang.
Ketiganya mengusung corak sepak bola yang bukan semata-mata menyerang untuk membuahkan gol, tetapi merujuk kepada pemahaman kosmos sepak bola gaya monistis (ketunggalan). Dalam alam pikir Yunani kuno, seluruh kosmos dikembalikan ke satu prinsip yang meresapi dinamisme alam.
Misalnya, filsuf Thales beranggapan bahwa seluruh alam semesta ini diresapi oleh satu prinsip saja yakni air, Anaximenes (udara), Anaximandros (Yang tak-terbatas atau "to apeiron"), Herakleitos (api).
Yang menarik, pendapat Empedokles. Filsuf yang hidup pada tahun 521-444 SM itu beranggapan bahwa kosmos tersusun dari empat anasir: api, udara, tanah dan air. Yang lebih menarik lagi, cinta itu menggabungkan, benci itu memisahkan.
Gaya sepak bola menyerang yang melulu berorientasi kepada kuantitas tampak berpulang kepada pendapat Leukippos, Demokritos, dan Epikuros. Trio filsuf itu berpendapat dunia terjadi dari atom-atom yang tidak terhingga, dan yang bergerak di ruang kosong. Atom itu tidak memiliki kualitas, tetapi hanya kuantitas dengan
ciri-cirinya seperti bentuk, ukuran dan posisi.
Padahal, arti sejati dari "sepak bola menyerang" berpulang kepada pendapat filsuf Descartes (1596-1650). Ada dua macam substansi yang berbeda secara radikal, yaitu pikiran dan keluasan. Sifat kuantitatif merujuk kepada massa, besarnya, gerak dan bobot. Sementara, apa yang formal ditemukan dalam kenyataan. Yang sekunder, ada dalam segala yang harum, segala yang berwarna-warni, yang panas dan yang dingin.
Kalau sepak bola menyerang mengakar kepada alam pikir tunggal (monistis) saja, maka laga bola tampil sebagai hitung-hitungan di atas kertas, bukan sajian menghibur yang menyentuh kemanusiaan yang utuh. Pesannya: mewaspadai reduksionisme di hadapan realitas hidup yang serba aneka.
Jika ingin memainkan manuver sepak bola menyerang, maka bersiaplah dengan kredo kehidupan bahwa cinta itu menyatukan, benci itu memisahkan. Hati rakyat ada dalam cinta, bukan ada dalam benci.(*)
Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009