Jakarta (ANTARA News) - Dalam satu wawancara televisi beberapa tahun lalu, Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid, ditanya humorolog Jaya Suprana mengapa Presiden AS Bill Clinton tertawa lebar saat berbicara empat mata dengannya.
Gus Dur, demikian Abdurrahman biasa dipanggil, menjawab, Clinton tertawa karena mendengar cerita lucu tentang mantan Perdana Menteri Winston Churchill dengan lawan politiknya, Clement Atlee, di kamar kecil di Gedung Parlemen Inggris.
Melihat Atlee menyusulnya untuk sama-sama membuang hajat, Churchill yang berbadan besar dan tiba lebih dulu di situ, berkata, "Sana ah, jangan dekat-dekat! Anda kan sukanya yang besar-besar."
Semasa memimpin Inggris, Atlee telah menasionalisasi perusahaan-perusahaan besar, diantaranya Bank of England yang kemudian menjadi bank sentral Inggris.
Karena inilah Gus Dur menciptakan anekdot bahwa Clement Atlee menggemari yang besar-besar.
Anda boleh menyebut Gus Dur saru, namun harus diakui bahwa kyai kharismatis ini lihai membangun komunikasi hangat dengan lawan bicaranya lewat tawaran anekdot cerdas dan berwawasan.
Kini, humor dalam komunikasi tingkat tinggi tersembul dari dialog para calon presiden --Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Megawati Soekarnoputri-- dengan para pengusaha nasional, pekan lalu.
Ada yang spontan menyampaikannya karena humor sudah menjadi bagian dari karakternya, dan ada yang terlihat berhumor karena rancangan.
Tak apalah, untuk sementara itu bisa diabaikan, yang penting, para pemimpin telah berupaya membangun atmosfer diskusi yang segar dan humanis sehingga debat tak lagi kaku, kelewat retorik atau terlampau provokatif.
Tapi jangan mengira mereka sedang melawak, karena humor berbeda dari lawakan. Mereka hanya berusaha membuat gagasannya mengenai kepemimpinan dan pengelolaan negara yang benar, sampai dan dimengerti publik.
Mereka setidaknya telah menaburkan senyum pada negeri yang belakangan ini disesaki prilaku sok serius dan amat sinis sehingga hidup --khususnya politik-- hilang sentuhan kemanusiaannya dan kering dari keceriaan, kebajikan, etika serta moral.
"Manusia telah menjadikan hidup terlampau serius sehingga hidup tak lagi menawan menggemaskan," tulis Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat, ITB, dalam "Drunken Monster" karangan Pidi Baiq.
Mencair
Di banyak kebudayaan, humor mengenai banyak perkara hidup yang kerap lebih serius dianalisis ketimbang ditangani, telah menjadi keharusan sosial.
Kultur politik Barat dan negara Asia seperti Korea Selatan, India dan Jepang, acap melihat humor sebagai bagian intrinsik dari kepemimpinan, bahkan militer AS menganggap humor inheren dengan kerja komando.
"Memiliki selera humor yang baik adalah karakter penting yang diperlukan para pemimpin," bunyi pedoman teknis Angkatan Darat AS.
Para pemimpin sipil negara ini tidak kalah gemarnya berhumor, bahkan saat mereka berbalas serang.
"Selera humor adalah bagian dari seni kepemimpinan untuk bisa bergaul akrab dengan rakyat dan membuat semua urusan terselesaikan," kata Dwight David Eisenhower, seorang presiden hebat dan jenderal besar pahlawan Perang Dunia Kedua.
Presiden AS hebat lainnya, Abraham Lincoln, walau raut mukanya selalu serius, adalah negarawan yang dikenal gemar membanyol.
"Dengan suasana tegang yang menakutkanku siang dan malam, aku pasti sudah mati kalau sehari saja tidak tertawa," kata Lincoln.
Humor juga diperlukan untuk mengkritik sosok pemimpin, seperti guyon Barack Obama mengenai mantan wapres Dick Cheney yang konon gemar menyulut perang, pada temu tahunan dengan wartawan Gedung Putih.
"Dick Cheney seharusnya hadir di sini tapi beliau sedang sibuk menerbitkan memoar yang rencananya berjudul 'How to Shoot Friends and Interrogate People (Kiat Menembak Teman dan Menginterogasi Orang)," kata Obama. Tentu saja memoar itu tak pernah ada karena Obama sedang beranekdot.
Dalam situasi-situasi konflik, humor sering bisa mencairkan suasana dan mengakhiri kebuntuan hubungan diantara para pemimpin.
Mendiang PM Indira Gandhi, pernah ditanya mengapa dia tak mau menemui seterunya, Presiden Pakistan Yahya Khan. Gandhi menjawab, "Kita kan tidak bisa bersalaman dengan tangan terkepal."
Khan yang kerap mengirim isyarat konfrontasi, memang acap menunjukkan prilaku bermusuhan, namun seloroh Gandhi kemudian membantu menurunkan emosi Pakistan sehingga pemimpin India dan Pakistan akhirnya bertemu untuk merundingkan perdamaian.
Rileks
Berdasarkan sejarah di banyak negara dan kebudayaan, humor seringkali bisa mengantarkan rekonsiliasi antar pemimpin, merekatkan kepaduan sosial, terulasnya hal-hal tabu dan sulit terungkap, dan membuat konflik bisa diredam sehingga tidak menghancurkan tatanan atau harmoni.
Humor bisa memfasilitasi keadaan-keadaan tersulit, mengendurkan stres, menciptakan kesalingpengertian antar masyarakat mengenai banyak hal yang dipandang berbeda, dan membuat komunikasi terus berjalan kendati diselimuti konflik.
Itu karena, mengutip Dr. Ellen Weber dalam www.brainleadersandlearners.com, humor membebaskan hormon endorphin (morfin tubuh yang menciptakan sensasi dan rasa senang), menyehatkan, mendorong suasana rileks, dan mengurai kimiawi otak sehingga pikiran menjadi segar.
Penjabarannya begini, hormon endorphin masuk otak, lalu mengendurkan emosi penstimulasi rasa sakit sehingga orang selalu bahagia meski dihadapkan pada situasi sulit dan konflik.
Humor membuat oksigen terpompa ke otak sehingga pertukaran udara dalam otak menjadi lebih lancar dan memungkinkan terurainya kimiawi otak sehingga stres atau emosi merenggang dan akhirnya membuat pikiran menjadi rileks. Jadi, humor itu positif dan manfaatnya pun banyak.
Sejumlah pakar, diantaranya profesor humor dari Universitas Pennsylvania, Dr. John Morreall, bahkan menyebut selera humor berkaitan dengan keprimaan berpikir, kreativitas, kecerdasan, stabilitas emosi dan pandangan positif manusia tentang hal yang mengitarinya, termasuk konflik dan stres.
Tidak heran, dengan semua pertalian seperti itu, selain inspiratif, orang-orang berselera humor tinggi kerap mampu membangun komunikasi konstruktif dan substantif sehingga mereka sering menjadi favorit bagi yang lainnya. (*)
Oleh Oleh: A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009