Pekerja di sektor formal tersebut umumnya bisa tetap mendapatkan penghasilan tanpa harus hadir secara fisik setiap hari
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Siti Nur Rosifah mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun IDEAS, secara umum pekerja formal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) sanggup bekerja dari rumah (work from home/ WFH).
"Berdasarkan data yang dihimpun IDEAS pada tahun 2019, dari total 15,4 juta pekerja di Jabodetabek terdapat 11,3 juta yang bekerja di sektor formal dan empat juta memiliki pekerjaan di sektor informal. Pekerja di sektor formal tersebut umumnya bisa tetap mendapatkan penghasilan tanpa harus hadir secara fisik setiap hari," kata Nur Rosifah berdasarkan pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin.
Baca juga: Menpan-RB imbau ASN di wilayah PSBB dapat laksanakan WFH secara penuh
Ia menambahkan, daerah metropolitan Jawa khususnya Jabodetabek memiliki persentase pekerja sektor formal tertinggi di Indonesia, sehingga penurunan pendapatan masyarakat secara drastis adalah rendah, sepanjang tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Jabodetabek juga memiliki persentase paling tinggi untuk pekerja yang bekerja di sektor jasa, seperti jasa keuangan, perusahaan, pendidikan hingga administrasi pemerintahan. Hal itu membuat skenario WFH akan lebih mudah dilakukan.
Selain itu, IDEAS berpendapat bahwa Jabodetabek secara umum juga memiliki kesiapan ekonomi untuk menjalani Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Bahkan, menurut peneliti IDEAS Fajri Azhari, penduduk di wilayah Jabodetabek secara ekonomi juga mampu menjalani langkah-langkah lebih ekstrem, lebih ketat dan lebih tegas, seperti karantina lokal untuk mencegah ledakan peningkatan kasus COVID-19.
"Untuk karantina wilayah Jabodetabek, kami melakukan estimasi biaya kebutuhan pangan warga per hari dibutuhkan setidaknya Rp1,3 triliun. Jika karantina dilakukan dua pekan, maka dibutuhkan Rp17,8 triliun untuk kebutuhan pangan 34 juta penduduk Jabodetabek. Jika subsidi pangan berfokus pada penduduk miskin dan hampir miskin saja, maka biaya kebutuhan pangan untuk karantina dua pekan adalah Rp6,3 triliun," kata Fajri.
Baca juga: Dampak COVID-19, pola kerja dari rumah bakal lebih lumrah
Namun, Fajri mengatakan semakin banyak waktu dibiarkan berlalu, dan semakin banyak wabah menulari masyarakat, membuat semakin mahal biaya karantina.
"Semakin cepat intervensi dilakukan di awal pandemi, semakin rendah biaya karantina. Semakin lambat karantina dilakukan, semakin panjang waktu yang dibutuhkan dan semakin besar biaya karantina," kata peneliti IDEAS itu pula.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020