Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menko Perekonomian era pemerintahan Megawati, Kwik Kian Gie, menantang Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, untuk berdebat mengenai neoliberalisme dan praktiknya di Indonesia selama ini untuk membuktikan komitmen ekonomi Boediono sebenarnya.
"Saya menantang Boediono dan mafia Berkeley lainnya untuk berdebat soal ini (neoliberalisme) karena saya yakin sekali bahwa Boediono berada pada posisi yang membenci adanya peran negara atas pasar," ujarnya saat berdiskusi dalam acara "Ekonomi Kemandirian vs Ekonomi Neoliberal" di Jakarta, Jumat.
Kwik mengaku memiliki banyak bukti bahwa mantan Menko Perekonomian dan Gubernur BI itu sangat pro pasar bebas dan menolak intervensi negara dalam bentuk apapun.
Kwik juga mempertanyakan kejujuran Boediono yang pernah menyatakan perlunya peran negara untuk mengatur pasar dan Indonesia harus terbebas dari intervensi IMF maupun bank Dunia.
Ekonom senior ini menuduh, penunjukkan Boediono sebagai cawapres Yudhoyono makin membuktikan pemerintahan sekarang dan mendatang, jika Yudhoyono-Boediono terpilih, masih jauh dari kemandirian ekonomi.
Senada dengan Kwik, ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Hendry Saparini yang juga jadi pembicara dalam acara itu menengarai ada perbedaan mendasar antar Pilpres 2004 dengan 2009.
Pada Pilpres 2004, setiap capres berupaya mencari pasangan cawapresnya yang mampu mendongkrak popularitas dan elektabilitas, sementara pada Pilpres 2009, fokus beralih ke paradigma ekonomi yang akan menjadi dasar kebijakan pemerintah mendatang.
Dia mengatakan, untuk soal kelangkaan gas dan batu bara, Jusuf Kalla menegaskan perlu renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan yang dianggapnya tidak adil dan merugikan Indonesia.
"Sementara untuk isu yang sama, SBY lebih menekankan adanya efisiensi pengelolaan. Efisiensi untuk siapa? Disini jelas, ada perbedaan ke mana arah ekonomi akan diperjuangkan kedua capres itu," ujarnya.
Hendry juga mempertanyakan kebijakan pemerintahan saat ini yang beberapa kali memotong subsidi demi menutupi defisit anggaran, padahal defisit muncul karena untuk pembayaran utang. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009