Jakarta (ANTARA) - Deklarasi pasangan calon presiden (capres) Megawati-Prabowo yang akan dilaksanakan di Bantar Gebang, Kota Bekasi, Minggu (24/5), jangan dijadikan politik simulasi.

"Jangan sampai, rakyat hanya dibuat seolah-olah diperhatikan dengan kehadiran capres Megawati di tempat itu," kata pengamat politik dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Haryatmoko saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.

Dalam politik simulasi, kata dia, pencitraan para elit politik berusaha menyembunyikan realitas atau kenyataan sebenarnya. Citra seakan menjadi penampakannya.

Menurut dia citra yang dibangun capres Megawati dengan berkumpul bersama pemulung, buruh, petani, pedagang asongan yang sering mereka sebut "wong cilik", sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kenyataan.

"Jika deklarasi itu dilakukan dengan berlebihan, maka rakyat Indonesia hanya diposisikan sebagai penonton sinetron saja," ungkap pengajar pasca sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu.

Ia menjelaskan, saat menonton sinetron pemirsa dibawa kedalam suasana haru dan sedih, namun begitu tayangan sinetron tersebut selesai, pemirsa kembali ke aktivitas semula, tertawa dan sudah lupa adegan yang ditontonnya.

"Rakyat jangan dibuai dengan harapan palsu dan cerita haru, namun berilah tindakan nyata setelah para capres itu terpilih," ujar dia.

Haryatmoko mengatakan bahwa ketiga capres tersebut mencalonkan diri sebagai pemimpin untuk membangun bangsa, bukan membangun pasar dimana tukar menukar jasa dan tawar menawar kebijakan terjadi.

"Saat mereka terpilih menjadi pemimpin, otomatis telah menandatangani kontrak dengan rakyat yang dipimpinnya," ujar Haryatmoko.

Ia menambahkan, kepedulian dan perhatian mereka seharusnya tidak sebatas pada masa kampanye saja. Perjalanan untuk memimpin masih harus dibuktikan dalam lima tahun pemerintahan.

Budaya urgensi atau mendesak, membuat sulit membedakan antara yang pokok dan yang sekadar tempelan. Semua seakan mendesak, harus segera dikerjakan. Ritme ini menjerumuskan ke pengosongan makna, kata dia.

Politisi tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengambil jarak atas apa yang dilakukannya.

"Ia tidak mungkin lagi bertanya, memberikan makna atas tindakan atau pilihannya, apalagi kritis terhadap kegiatannya," ujar Haryatmoko.

Ia berpandangan rakyat Indonesia kini semakin cerdas, dan bisa membaca polah tingkah politisi.

Karena itu ia berharap, deklarasi yang rencananya dihadiri 10 ribu orang itu, rakyat atau yang sering disebut Megawati "wong cilik" jangan dibuai dengan pencitraan sesaat.

Deklarasi yang dikemas sebagai "deklarasi rakyat" itu rencana akan dilaksanakan di areal tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009